PSIKOLOGI IBADAH
D
alam menjalani kehidupan sehari-hari, tak seorangpun bisa mandiri dan lepas dari bantuan orang lain. Tidak ada orang yang sanggup menunaikan semua tugas dan kewajibannya tanpa uluran tangan pihak orang lain. Semua orang pasti tergantung satu sama lain. Anak tergantung pada orang tuanya, karyawan tergantung pada pengusaha, atasan tergantung pada bawahan dan begitulah seterusnya. Fenomena ketergantungan ini terjadi sejak manusia tercipta di dalam rahim hingga resmi menghuni liang lahat. Malah, ketika seseorang sudah selesai dikebumikan, bukan berarti ia lepas sama sekali dari ketergantungan. Ia tetap tergantung kepada belas kasih Tuhan dan doa yang dipanjatkan orang-orang yang masih hidup. Ketergantungan yang ia lepaskan ketika sudah meninggal sebatas ketergantungan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya saja. Namun dalam arti yang sangat luas ia tetap saja tergantung.
Ketika diteliti secara mendetail, proses ketergantungan manusia sangatlah rumit dan panjang, membentuk semua mata rantai yang sangat berkesinambungan dan saling menopang, sehingga jika salah satu dari mata rantai itu putus, bisa dipastikan akan terjadi kekacauan. Coba sejenak kita renungkan, untuk sepiring nasi berikut lauk pauk yang akan kita nikmati, berapa banyak pihak yang terlibat? Sejak dari petani yang menanam padi, penggiling gabah, penjual beras, hingga ibu rumah tangga yang memasak dan menghidangkannya kepada kita. Begitu juga dengan pakaian yang kita kenakan, pernahkan terbayang dalam benak kita untuk berterima kasih kepada tangan-tangan yang telah berpartisipasi membuat pakaian tersebut terpasang ditubuh kita? Dari pemintal benang, pembuat kain, penjahit, hingga para pedagang yang menjualnya? Kalau untuk dua hal yang sepele ini saja manusia harus saling bantu satu sama lain, bagaimana dengan hal-hal yang lebih besar dan krusial?
Kenyataan ini membuktikan betapa manusia tidak mungkin sanggup menjalani rutinitas hidup sendirian. Ia pasti tergantung kepada instrument lain yang berada diluar dirinya. Bahkan untuk aktivitas yang purnamandiri sekalipun! Melamun, singkatnya, mustahil kita hidup sendiri dan mandiri tanpa membutuhkan sesuatu!
Ketergantungan inilah yang harus kita sikapi dengan bijak. Kita harus pandai berterima kasih dan rajin meminta maaf. Dalam tradisi masyarakat Barat, hal ini disebut sorry and thank you. Mengapa harus minta maaf? Karena dalam membangun interaksi dengan orang lain, kita pandai melakukan kesalahan, disengaja atau tidak. OLeh sebab itulah kita tidak boleh malu atau gengsi untuk meminta maaf kepada orang lain. Jangan pernah menggap bahwa meminta maaf dapat menjatuhkan derajat, karena yang terjadi justru sebaliknya. Semakin tulus seseorang mengakui kesalahannya dan meminta maaf, semakin terpancar pula keagungan kepribadiaanya. Dengan begitu, semakin tinggi martabatnya dimata orang lain.
Mengapa harus berterima kasih? Sebab, untuk menjalankan roda kehidupan, kita muthlak memerlukan penyangga yang tidak sedikit. Semakin banyak kita beraktivitas, semakin banyak pula bantuan yang kita butuhkan. Dan ini meniscayakan semakin banyak pula orang yang terlibat. Malah kalau diruntut berdasarkan mata rantai ketergantungan diatas, banyak pihak yang tidak kita kenal yang perannya tidak bersinggungan secara langsung dengan kita tapi secara vital turut menyagga kesuksesan yang kita capai. Atas dasar itulah kita wajib berterima kasik, minimal kepada tiang penyangga yang terdekat.
Berterima kasih disini bukan sebatas mengucapkan kata itu kepada orang lain. Sebab kata itu sungguh tidak sebanding dengan besarnya jasa yang diberikan orang lain. Lebih dari itu, kita juga harus menghargai dan menyayanginya. Jangan memandang bahwa bantuan yang dia berikan sebagai kewajiban yang memang harus ia tunaikan kepada kita. Mengapa? Karena angggapan itu potensial melahirkan sikap antroposentris, memandang diri sendiri sebagai muara segala sesuatu, sementara orang lain tidak lebih dari air mengalir yang secara mekanis pasti menuju ke muara.
Secara natural manusia memang memiliki kecenderungan egois dan antroposentris, memandang segala sesuatu berdasarkan perspektif kemanusiaannya. Ketika melihat alam, misalnya banyak realitas yang dianalogikan dengan dirinya sendiri, sehingga muncul istilah matahari, bibir sumur, bahu jalan, kaki gunung, dan sebagainya. Semua itu adalah istilah yang lahir dari egoisme manusia semata. Bukti lain yang menunjukkan betapa besarnya egoisme manusia adalah ketika terjadi bencana alam.
Lihatlah saat gunung meletus. Bagi penduduk yang tinggal disekitar gunung dan merasakan langsung dampak negatifnya, fenomena lama ini disebut malapetaka. Tapi bagi para pemburu gambar-gambar eksotik, gunung meletus adalah keindahan luar biasa yang harus diabadikan. Manusia dengan egois menggunakan istilah aku untuk menunjukkan identitas dirinya. Padahal istilah aku adalah pinjaman dari Tuhan. Dan hanya Dia-lah yang berhak mengklaim dirinya sebagai aku. Sebab kalau manusia mati, aku secara otomatis juga berakhir dan kembali kepada aku Yang Maha Kuasa.
Inilah yang harus disadari kita semua. Bahwa diri kita sangat naïf dan mustahil bila mandiri. Secara praktis, diri kita sangat bergantung terhadap makhluk lain disekitar kita, dan secara teologis metafisis, kita sangat tergantung kepada Tuhan. Dan inilah yang disebut denga ta’alluq. Mengakui bahwa kepada Allah-lah kita bergantung. Dia-lah tumpuan sejati. Yang lain hanyalah instrument yang dia sediakan untuk menggantungkan diri kepada-nya. Sebab, untuk menggantungkan diri secara langsung kepada Tuhan, manusia bisa terjerembab ke dalam kepasrahan apatis. Dan, itu berarti menafikan naturnya sebagai khalifah yang harus ber-tahaqquq.
Jadi, langkah pertama yang harus dilakukan manusia untuk bisa ber-tahaqquq adalah menyadari hakikat dirinya sendiri. Dalam tradisi sufistik, hal ini dituangkan dalam postulat yang berbunyi, ”Man ‘arafa nafsahu faqad ‘afara rabbahu”(Orang yang mengenal dirinya pasti mengenal Tuhan). Pengenalan ini dapat menumbuhkan kesadaran hati dan akal untuk selalu mengingat Tuhan dimana dan kapan pun. Itu lah arti tahaqquq, berusaha mengingat dan mengikatkan kesadaran hati dan pikiran kita kepda Allah. Di mana pun seorang mukmin berada, dia tidak boleh lepas dari berpikir dan berzikir untuk Tuhannya
Dalam tradisi Indonesia, jawaban untuk kata terima kasih adalah “terima kasih kembali” bukan “ya”. Dalam bahasa inggris, kalau anda bilang “thank you”, orang pasti akan menjawab “you are welcome”, bukan “yes”. Fenomena ini harusnya mengajari kita dua hal. Pertama, kewajiban untuk tidak bersikap egois dan pandai menghargai orang lain yang merupakan perpanjangan “tangan” Tuhan. Kedua, jangan melupakan Tuhan sebagai poros di balik kebaikan yang kita dapatkan. Oleh sebab itulah, dalam Qur’an dan hadits, Allah menyandingkan terima kasih kepada-nya dengan terima kasih kepada makhluk-nya.
Untuk lebih jauh lagi, jangankan masalah kebaikan, dalma masalah keburukan pun manusia juga masih melibatkan Tuhan. Misalnya ketika di zalimi, orang Arab akan berkata, “la’natullah ‘alayka”. Kalau orang Indonesia, kata-katanya adalah “terkutuk”.
Jadi, insafilah bahwa semua kesuksesan yang diraih dan seluruh peristiwa yang dialami adalah berkat perkenaan Allah Yang Maha Kuasa. Dialah actor sejati di balik semua itu. Potensi yang kita miliki atau uluran tangan orang lain, pada dasarnya adalah sarana yang dia gunakan untuk mewujudkan kehendaknya tersebut. Dia ingin mengajari kita bahwa cirri khas yang membedakan antara diri-nya dengan makhluk adalah usaha. Artinya, dia cukup mengatakan “kun” untuk mewujudkan keinginan-nya, sementara kita tidaklah demikian. Untuk mendapatkan apa yang kita inginkan, kita harua berusaha dan memanfaatkan mata rantai ketergantungan di antara sesama manusia. Di samping itu, kita juga harus sadar selaku makhluk sosial yang mustahil hidup mandiri, kita harus pandai berterim kasih atas jasa orang lain, dan tidak sungkan untuk meminta maaf atas kesalahan kita.
Itu kaitan naïf-itsbat dengan ta’alluq kepada-nya. Kandungan luhur dalam kalimat itu harus mampu menyadarkan kita akan jati diri kita sebagai hamba Tuhan yang dituntut untuk selalu melibatkan diri-nya dalam setiap detail kehidupan, sekaligus sebagai posisi kita sebagai makhluk sosial yang dituntut untuk berintegrasi secara aktif dan pandai berterima kasih kepada orang lain. Sebab, hanya dengan begini kita bisa menjadi sosok elegan yang cerdas dalam membina hablum minallah dan tangkas dalam membangun hanlum minnas.
Ada satu hal yang sangat berkaitan dengan konsep ta’alluq ini : jangan sampai kita terjebak pada egoisme-religius karena besarnya hasrat untuk menafikan tuhan-tuhan palsu dan mengukuhkan Allah sebagai Tuhan sejati. Artinya jangan sampai niat mulia untuk mengesahkan Tuhan mengiring kita pada sikap memandang rendah manusia lain. Dalam sikap yang lebih ekstrem lagi, karena ingin benar-benar hanya bergantung kepada Tuhan, kita kemudian menyepi dan menepi dari hiruk-pikuk realitas sosial masyarakat.
Kita harus ingat bahwa naïf-itsbat mengandung dua domain. Pertama, domain negatif yang terdapat dalam naïf, kedua domain positif yang terdapat dalam itsbat. Kedua domain ini harus selalu disejajarkan, disandingkan dan disikapi secara seimbang. Jangan menitik beratkan domain naïf dengan memfokuskan diri pada kata la ilaha, karena sikap itu potensial membuat kita menjadi makhluk sekunder yang mengecilkan peranan Tuhan dalam kehidupan. Tapi, juga jangan menitikberatkan pada domain positif dengan memfokuskan diri pada kata illa Allah, karena sikap itu bisa memancing kita untuk bersikap apatis dalam pergaulan sosial.
Sikap ideal adalah memosisikan kedua kalimat itu secara sama dan tak ada yang yang lebih penting sebagaimana keduanya tidak mungkin dipisahkan, berarti keduanya sama utama dan tak ada yang lebih utama. Sebab dengan menyatarakan keduanya , berarti energi yang dapat kita serap dari kedua kalimat itu juga akan seimbang. Secara sederhana, hal ini bisa kita analogikan dengan arus listrik. Apabila muatan ion positif dan ion negatif setara maka energi yang dihasilkan pun pasti konstan dan stabil, sehingga alat apapun yang menyerapnya pasti awet dan tahan lama. Sebaliknya ketika pasokan salah satu ion itu lebih banyak, praktis, arus listrik pun tidak stabil, kadang besar, tapi kadang-kadang juga kecil. Inilah yang biasanya menyebabkan alat elektronik cepat aus dan rusak. Untuk menyiasatinya, manusia kemudian mencipkan stavol atau stabilizer. Alat ini berfungsi menstabilkan fluktuasi arus listrik sebelum disuapi pada alat elektronik. Dengan begitu, perangkat elektronik tersebut tetap bisa bekerja dengan baik.
Manusia juga demikian. Beragam corak dan warna kehidupan plus pengetahuannya yang sangat terbatas membuatnya sulit untuk bersikap konstan dan seimbang. Ada kalanya ion positif (domain istbat) begitu besar mengalir dalam dirinya sehingga ia hanya ingin beribadah mendekatkan diri kepada Tuhan, tidak mau terlibat persoalan sosial. Namun, ada kalanya juga ion negatif (domain naïf) begitu menguasai dirinya sehingga Tuhan tersingkar dalam kehiduapannya. Kedua fenomena ini bukan hal baru, dan sudah ada sejak zaman Rasulullah SAW.
Lantas, bagaimana cara agar kita bisa seimbang dalam mengintegrasikan domain positif dan negatif sehingga bisa ber-ta’alluq dengan baik dan benar? Kalau manusia menciptakan stabilizer untuk menstabilkan pasokan listrik pada peralatan elektronik, ternyata Allah juga sudah menyediakan perangkat yang sama bagi manusia. Perangkat itu bernama hati. Ketika pasokan ion positif yang mengajak manusia untuk selalu mengerjakan ibadah ritual melalui pikiran membesar, hati bertugas merendamnya agar hasrat untuk melakukan ibadah sosial tetap terpelihara Sebaliknya, saat pasokan ion negatif melalui hawa nafsu yang mendorong manusia untuk hanya menyibukkan diri dengan urusan sosial, hati bertugas menstabilkannya agar kesadaran untuk menunaikan kewajiban kepada Tuhan tetap terjaga.
Sebagai penyeimbang, Allah telah menjamin bahwa hati takkan pernah rusak dan kehilangan fungsinnya. Hati takkan pernah bisa dibohongi, sekuat apapun manusia berusaha untuk itu. Ia tetap bisa mendefinisikan apakah sikap dan perbuatan seseorang itu baik atau tidak. Seorang koruptur, misalnya, sekuat apapun ia berkelit membenarkan tindakannya, ia tetap takkan bisa mendustai hatinya yang mengatakan bahwa korupsi adalah tindakan yang salah. Sahabat yang bertekad menghabiskan waktu untuk beribadah tadi, juga takkan mungkin memungkiri suara hatinya bahwa tindakannya itu keliru.
Jadi, dalam ber-ta’alluq kepada Tuhan, kita harus menyerap energi yang dipancarkan kalimat tauhid secara proporsional, agar iman kita bisa membuat kita aktif dan dinamis. Sosok yang memiliki kedudukan mulai di sisi Tuhan dan juga terhormat di tengah-tengah manusia. Sosok yang mampu mewujudkan tujuan penciptaannya sebagai khalifah yang bertugas memakmurkan bumi dan beribadah kepada-nya. Dalam kaum sufi, inilah sosok ideal : singa siang hari, rahib malam hari. Ketika siang berperang segarang singa, ketika malam telah hening, ia bersimpuh bercucuran air mata di hadapan Allah SWT.
Dalam idiom agama, kita mengenal istilah Khaliq dan Makhluq. Khaliq adalah pencipta, sementara Makhluq adalah ciptaan. Istilah khaliq hanya mengacu pada satu entitas, yaitu Tuhan. Sementara makhluk mengacu kepada semua realitas selain diri-nya. Di antara sekian banyak ciptaan itu, manusia adalah makhluk paling ideal dan prima. Banyak bukti-bukti teologis dan empiris yang mengukuhkan kenyataan ini. Al-qur’an misalnya, secara tegas menyatakan bahwa menusia merupakan makhluk yang mendapatkan percikan ruh-nya.
Dalam hadits yang popular di kalangan sufi juga disebutkan bahwa manusia diciptakan sesuai dengan citra Tuhan. Ia menciptakan manusia sesuai dengan citranya. Fakta empiris juga menunjukkan bahwa manusia adalah makhluk paling unik yang tak pernah selesai didefinisikan. Bahkan hingga era ilmu pengetahuan yang berkembang pesat dan terklasifikasi ini. Definisi manusia yang dihasilkan ilmu politik, akan jauh berbeda dengan definisi ilmu ekonomi. Definisi manusia dari perspektif ilmu sosial jauh berbeda dengan ilmu agama. Intinya, sampai sekarang pun manusia masih belum bisa memotret dirinya secara utuh dan menyeluruh.
Manusia sebenarnya memiliki unsur-unsur ilahi dalam dirinya. Manusia adalah potret Tuhan yang menyejarah, hidup dalam ruang dan waktu. Manusia adalah mikroskosmos yang memiliki daya tampung luar biasa besar, melebihi mikroskosmos yang ia tempati. Karena itulah dalam adagium tasawuf disebutkan bahwa manusia ibarat seekor belalang kecil yang menempel pada dahan salah satu pohon di hutan nan luas, tapi pengetahuannya jauh melapaui luasnya hutan itu sendiri.
Sebagai makhluk yang diciptakan dengan citra Tuhan dan mendapatkan percikan ruh-nya, sudah barang tentu jika manusia kemudian memiliki unsur-unsur ilahi dan kesamaan sifat dengan penciptanya. Contoh kesederhanaannya adalah definisi tadi. Sebagaimana Allah adalah Zat Mahaabsolut yang tidak mungkin dibatasi oleh pengertian, ternyata manusia juga sulit untuk didefiniskan. Sebagaimana Tuhan menegaskan bahwa gambaran diri-nya adalah sebanyak yang diapersepsikan hamba-nya. Manusia juga memiliki pluralitas pengertian.
Unsur-unsur Ilahi ini sejatinya adalah instrumen yang dianugrahkan Tuhan kepada manusia supaya ia bisa menginsafi hakikat dirinya, untuk selanjutnya mengenal, mendekati dan menjalin hubungan elegan dengan Tuhan. Unsur-unsur itu adalah instrumen yang ditanamkan dalam diri manusia supaya ia bisa menerima pancaran cahaya Ilahi. Ketika manusia sudah mengenal Tuhan, secara otomotis, dia akan tertarik untuk meniru-Nya.
Proses mengenal Tuhan ini berbeda dengan proses mengenli benda-benda instrinsik yang ada disekitar kita, seperti halnya makanan. Untuk mengenal makanan, kita cukup mengetahui, memiliki, kemudian memakannya sehinggga makanan itu masuk ke dalam tubuh kita. Untuk mengenal Tuhan berarti kita melakukan penetrasi dan transfer nilai-nilai luhur yang dimiliki Tuhan ke dalam diri. Meniru sifat-sifat Allah yang diterangkan dalam Al-qur’an dan sunnah untuk di aplikasikan secara nyata, sehingga manusia benar-benar bisa menjadi baying-bayang-Nya yang membumi. Maka, jika diccermati, sifat atau nama Allah dalam Al-qur’an dan sunnah sangat variatif, ada yang bernuasa feminism dan ada yang bercorak maskulin. Semua nama atau sifat Tuhan itu terangkum dalam Asmaul Husna yang berjumlah 99.
Di bandingkan dengan agama lain, konsep ketuhanan dalam islam sangatlah unik. Karena, secara logika, konsep tersebut sangat jelas, tegas dan sederhana. Orang tidak perlu menjadi pakar teologi untuk bisa memahami konsep ketuhanan dalam islam. Walaupun sangat sederhana, konsep ketuhanan ini juga sangat abstrak. Karena, Tuhan dalam islam tidak boleh di simbolkan secara visual, sehingga umat islam tidak mempunyai peta konkret yang menggambarkan Tuhannya. Memang, di atas kubah atau di dalam masjid kita sering mendapati tulisan Allah dengan ornament kaligrafi yang indah. Tapi, semua umat islam tahu bahwa tulisan itu hanyalah hiasan untuk mempercantik masjid, bukan symbol yang disembah dan di cintai.
Tuhan pada diri-Nya tidak membutuhkan nama. Nama itu muncul karena adanya relasi dengan yang lain. Ada khaliq pasti ada makhluq, ada ‘abid harus ada ma’bud. Tanpa nama, takkan mungkin terjadi hubungan. Anda bisa bayangkan seandainya dalam kehidupan ini tidak ada nama. Anda pasti sulit membedakan antara satu entitas dengan entitas yang lain. Lebih dari itu, tidak akan tercipta sebuah tatanan dan tidak ada ilmu pengetahuan. Di sinilah letak nilai-nilai edukasi dan relasi di balik nama Tuhan. Sebab, kalau tuhan tidak memiliki namam, umat islam pasti tidak bisa untuk mengenal Tuhan-nya, apalagi Tuhan dalam islam sangat abstrak.
Intinya, betapun kerasnya usaha manusia untuk mendefiniskan atau membahasakan Tuhan, takkan pernah bisa mewakili Tuhan itu sendiri. Karena bahasa, persepsi dan kekuatan nalar manusia yang terbatas, sementara Tuhan tidak. Nama-nama yang di perkenalkan Tuhan kepada manusia dalam kitab suci hanyalah sebatas sarana untuk memperkenalkan diri-nya agar tidak terlalu abstrak bagi manusia. Orang yang ingin ber-takhalluq harus bisa melampau batas-batas bahasa sehingga bisa menyerap sifat-sifat Ilahi yang di pancarkan-nya. Hapus semua kesan gender tentang Tuhan, kemudian bergegas memahami makna yang tersirat di balik nama-nama indah-Nya.
Menurut Al-qur’an, agama itu bagaikan cahaya yang mengusir kegelapan dan menunjukkan jalan terang. Ia juga bagaikan limpahan air yang dapat memberikan kesejukkan dan kehidupan bagi umatnya.
Sebagai makhluk yang terbatas dan sarat kekurangan, memang manusia harus meniru semua sifat Tuhan yang Maha Sempurna scara utuh dan menyeluruh. Dalam Asmaul Husna ada nama-nama tertentu yang khusus dimiliki Tuhan dan tidak bisa ditiru oleh manusia. Nama-nama yang bermakna metafisik inilah yang membedakan antara sang Khalik dan makhluk-Nya.
Jadi, yang dimaksud dengan meniru Tuhan secara utuh dan menyeluruh disini adalah meniru sifat-sifat yang konkret dan aplikatif secara seimbang, tidak berat sebelah apalagi persial. Dengan kata lain, meniru Tuhan secara kulli, bukan juz’i. Hanya peniruan semacam inilah yang akan menghasilkan pribadi luhur nana gung. Sebagai contoh, Tuhan memiliki nama al-alim sifat ini harus dibarengi dengan al-hadi. Dengan begitu, potensi kecerdasan dalam diri menjadi bermanfaat bagi orang lain. Tuhan memiliki nama atau sifat al-waliy, sifat ini harus dibarengi dengan al-raqib sehingga perlindungan yang diberikan tepat sasaran. Tuhan punyai nama al-qadir dan al-qahhar sifat ini harus disertai dengan al-wadud. Begitulah seterusnya.
Intinya, kita harus mampu menyandingkan dua sifat Tuhan yang sepintas terkesan paradoks itu agar melahirkan keseimbangan. Sebab, tanpa keseimbangan setidaknya akan timbul tiga dampak negatif.
Sepanjang hidup ini, kita bisa merasakan anugerah dan karunia Tuhan, tapi kita takkan mungkin menalarnya secara logis dan rasional. Kita pasti tahu bahwa yang menumbuhkan padi dan mengatur siklus rotasi bumi adalah Allah. Tapi pikiran kita adalah kita takkan mampu menganalisi bagaimana cara Tuhan melakukan keduanya. Di sinilah kemudian timbul ketegangan kreatif. Analogi kita mungkin membayangkan bahwa proses menumbuhkan padi sama dengan proses meregangkan karet, atau proses merotasi bumi sama dengan memutar bolah kecil yang diikat dengan benang.
Setelah menyadari keterbatasan diri, mari kita bersikap positif dan dinamis. Akui bahwa semua yang kita nikmati berasal dari Allah, lalu mohon agar Dia melimpahkan kerunianya supaya kita bisa menjadi sosok yang Dia kehendaki.
Jadi, insafilah bahwa semua kesuksesan yang diraih dan seluruh peristiwa yang dialami adalah berkat perkenaan Allah Yang Maha Kuasa. Dialah aktor sejati di balik semua itu. Potensi yang kita miliki atau uluran tangan orang lain, pada dasarnya adalah sarana yang dia gunakan untuk mewujudkan kehendaknya tersebut. Dia ingin mengajari kita bahwa ciri khas yang membedakan antara diri-nya dengan makhluk adalah usaha. Artinya, dia cukup mengatakan “kun” untuk mewujudkan keinginan-nya, sementara kita tidaklah demikian. Untuk mendapatkan apa yang kita inginkan, kita harus berusaha dan memanfaatkan mata rantai ketergantungan di antara sesama manusia. Di samping itu, kita juga harus sadar selaku makhluk sosial yang mustahil hidup mandiri, kita harus pandai berterim kasih atas jasa orang lain, dan tidak sungkan untuk meminta maaf atas kesalahan kita.
Dalam konteks yang lebih luas, manusia sering kali tergoda dan tertipu untuk mengeduk kepuasan di dunia yang sangat singkat dibandingkan dengan merengkuh kenikmatan akhirat yang abadi. Banyak orang yang tidak tahan menjalani secuil derita kemiskinan di dunia lalu rela melakukan apa saja agar bisa kaya. Mereka tak lagi peduli apakah caranya dalam mengumpulkan harta benar atau salah, yang penting kaya. Bukankah manusia seperti ini pasti merugi. Betapa besarnya nilai waktu bagi manusia, dan betapa banyaknya manusia yang tertipu karena waktu. Jadi, wajar jika Allah menghabiskan waktu sebagai makhluk penting yang layak dijadikan jaminan sumpah-nya.
Di dalam setiap diri kita terdapat hati nurani, yaitu cahaya lembut dan cahaya kebaikan yang selalu memancarkan kebajikan Ilahi. Hanya saja volume dan frekuensinya yang berbeda-beda karena tidak semua orang konsisten menggosk cermin hati sebagai reflector nurani agar seluruh pikiran dan perilakunya mendapat bimbingan terang Ilahi.
Memasuki orbit kesadaran ruhani yang begitu fitri, penglihatan kita akan menjadi lebih jernih. Kita di ajak memandang dunis lebih onjektif dengan ukuran kemanusiaan universal yang terpancar dari fitrian kita. Ketika pandangan kita dihadapkan pada sosok diri kita sendiri, kita malu pada diri kita sendiri, Tuhan, anak cucu, dan masyarakat dunia, bahwa kita sebagai bangsa ternyata belum begitu beradab, dan bahkan dikenal sebagai bangsa yang korup.
Bayangkan seseorang yang hatinya selalu di dekatkan dan bahkan di sambungkan dengan Dia, sumber segala keagungan dan kesucian, maka pikiran, perasaan, ucapan, dan tindakan akan mantap, tenang, dan jernih. Sebaliknya, mereka yang hati dan pikirannya dipenuhi dengan energi negatif, keji, dan kotor seperti halnya penuh dengan prasangka, iri, tidak senang melihat orang lain sukses dan bahagia, senang mengambil hak orang lain, maka gerak-gerik ucapannya, ekspresi wajahnya dan tindakannya akan selalu merusak apa pun dan siapa pun yang berada di sekelilingnya.
Situasi Indonesia dan dunia hari-hari ini adalah sebuah dunia yang gelap, dunia yang carut merut akibat gaya hidup hedonistic yang dikendalikan oleh hati dan pikiran yang tidak senang melihat orang lain hidup damai dan bahagia. Sebuah proses perubahan sosial yang berlangsung tanpa kendali hati nurani yang tulus dan pikiran yang mencerahkan. Sebuah hiruk-pikuk politik yang berjalan tanpa desain dan actor yang memiliki komitmen kuat terhadap upaya penegakkan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan sebagaimana yang dicontohkan Nabi Muhammad ketika beliau harus berjalan sendiri dalam gelap menuju jalan terang dalam berbagai rintangan yang sangat berat.
Allah mengecualikan orang beriman. Ingat bukan yang beragama. Ada perbedaan mendasar antara iman dan agama. Iman adalah keyakinan spiritual yang tertanam di hati, sedangkan agama adalah konstruksi sosial yang sekarang sudah memiliki institusi mandiri dan kerap kali dijadikan identitas suatu kemunitas. Iman tidak bisa ditunggangi oleh kepentingan-kepentingan jangka pendek, karena orientasinya sangat jauh ke depan, bahkan orientasinya sangat jauh ke depan, bahkan melintasi batas-batas waktu itu sendiri.
PSIKOLOGI
IBADAH
S
umber energi yang tak pernah habis adalah selalu mendekat kepada Tuhan dan melakukan perjumpaan intelektual dan spiritual untuk memperoleh sinergi batin sehingga memperkuat energi dan motivasi kita untuk berbuat baik. Kita luangkan waktu dari jebakan rutinitas, lalu bersama berdialog dengan diri, dengan kehidupan, dengan imajinasi masa depan dalam suasana batin yang jernih dan hati tulus untuk menciptakan kedamaian dalam diri, keluarga, dan kehidupan sosial.
Di sinilah letak keunikan membicarakan masalah pengetahuan manusia tentang tuhan. Di satu sisi, kita dituntut untuk mengetahui Tuhan dan diberi kelengkapan-kelengkapan untuk itu, tapi di sisi lain, kita juga di ingatkan agar tidak sok tahu. Karena pengetahuan kita sangat terbatas dan bersifat analogis. Konsep kita tentang Tuhan mutlak dipengaruhi kualitas kemanusiaan kita. Jadi, ketika kta memproklamasikan diri mengetahui tuhan, sejatinya kita sudah menempatkan-Nya dalam perspektif dan spectrum kemanusiaan. Kita harus dasar bahwa mengetahui atau mengenal sesuatu itu pada dasarnya adalah membatasi sesuatu tersebut. Padahal kita semua tahu bahwa Tuhan tidak terbatas dan tidak dapat dibatasi.
Sepanjang hidup ini, kita bisa merasakan anugrah dan karunia Tuhan, tapi kita takkan mungkin menalarnya secara logis dan rasional. Kita pasti tahu bahwa yang menumbuhkan padi dan mengatur siklus rotasi bumi adalah Allah.
Tapi pikiran kita takkan mampu menganalisis bagaimana cara Tuhan melakukan keduanya. Di sinilah kemudian timbul ketegangan kreatif. Analogi kita mungkin membayangkan bahwa proses menumbuhkan pada sama dengan proses meregangkan karet atau proses merotasi bumi sama dengan memutar bola kecil yang di ikat dengan benang.
Ketika diteliti secara mendetail, proses ketergantungan manusia sangatlah rumit dan panjang, membentuk semua mata rantai yang sangat berkesinambungan dan saling menopang, sehingga jika salah satu dari mata rantai itu putus, bisa dipastikan akan terjadi kekacauan. Coba sejenak kita renungkan, untuk sepiring nasi berikut lauk pauk yang akan kita nikmati, berapa banyak pihak yang terlibat? Sejak dari petani yang menanam padi, penggiling gabah, penjual beras, hingga ibu rumah tangga yang memasak dan menghidangkannya kepada kita. Begitu juga dengan pakaian yang kita kenakan, pernahkan terbayang dalam benak kita untuk berterima kasih kepada tangan-tangan yang telah berpartisipasi membuat pakaian tersebut terpasang ditubuh kita? Dari pemintal benang, pembuat kain, penjahit, hingga para pedagang yang menjualnya? Kalau untuk dua hal yang sepele ini saja manusia harus saling bantu satu sama lain, bagaimana dengan hal-hal yang lebih besar dan krusial?
Kenyataan ini membuktikan betapa manusia tidak mungkin sanggup menjalani rutinitas hidup sendirian. Ia pasti tergantung kepada instrument lain yang berada diluar dirinya. Bahkan untuk aktivitas yang purnamandiri sekalipun! Melamun, singkatnya, mustahil kita hidup sendiri dan mandiri tanpa membutuhkan sesuatu..
Setelah menyadari keterbatasan diri, mari kita bersikap positif dan dinamis. Akui bahwa semua yang kita nikmati berasal dari Allah, lalu mohon agar Dia melimpahkan kerunianya supaya kita bisa menjadi sosok yang Dia kehendaki.
Semua kesuksesan yang diraih dan seluruh peristiwa yang dialami adalah berkat perkenaan Allah Yang Maha Kuasa. Dialah actor sejati di balik semua itu. Potensi yang kita miliki atau uluran tangan orang lain, pada dasarnya adalah sarana yang dia gunakan untuk mewujudkan kehendaknya tersebut. Dia ingin mengajari kita bahwa cirri khas yang membedakan antara diri-nya dengan makhluk adalah usaha. Artinya, dia cukup mengatakan “kun” untuk mewujudkan keinginan-nya, sementara kita tidaklah demikian. Untuk mendapatkan apa yang kita inginkan, kita harus berusaha dan memanfaatkan mata rantai ketergantungan di antara sesama manusia. Di samping itu, kita juga harus sadar selaku makhluk sosial yang mustahil hidup mandiri, kita harus pandai berterim kasih atas jasa orang lain, dan tidak sungkan untuk meminta maaf atas kesalahan kita.
Kualitas manusia dalam ber-tahaqquq murni di tentukan oleh usaha dan kegigihannya dalam merealisasikan dan mengaktualisasikan dimensi Ilahi yang tertanam dalam dirinya. Sekuat apa upaya seseorang dalam menciptakan keajaiban supaya bisa menjadi baying-bayang Tuhan di muka bumi. Atas dasar itulah, kalau kita menemukan orang yang sangat kreatif dan berjasa agar dalam perkembangan ilmu pengetahuan, kita bisa mengatakan bahwa Tuhan bekerja dalam dirinya. Dia terhitung sebagai orang yang sukses dalam ber-tahaqquq atau meniru sifat-sifatnya.
Dalam konteks yang lebih luas, manusia sering kali tergoda dan tertipu untuk mengeduk kepuasan di dunia yang sangat singkat dibandingkan dengan merengkuh kenikmatan akhirat yang abadi. Banyak orang yang tidak tahan menjalani secuil derita kemiskinan di dunia lalu rela melakukan apa saja agar bisa kaya. Mereka tak lagi peduli apakah caranya dalam mengumpulkan harta benar atau salah, yang penting kaya. Bukankah manusia seperti ni pasti merugi. Betapa besarnya nilai waktu bagi manusia, dan betapa banyaknya manusia yang tertipu karena waktu. Jadi, wajar jika Allah menghabiskan waktu sebagai makhluk penting yang layak dijadikan jaminan sumpah-nya.
Lantas, bagaimana cara agar kita bisa seimbang dalam mengintegrasikan domain positif dan negatif sehingga bisa ber-ta’alluq dengan baik dan benar? Kalau manusia menciptakan stabilizer untuk menstabilkan pasokan listrik pada peralatan elektronik, ternyata Allah juga sudah menyediakan perangkat yang sama bagi manusia. Perangkat itu bernama hati. Ketika pasokan ion positif yang mengajak manusia untuk selalu mengerjakan ibadah ritual melalui pikiran membesar, hati bertugas merendamnya agar hasrat untuk melakukan ibadah sosial tetap terpelihara Sebaliknya, saat pasokan ion negatif melalui hawa nafsu yang mendorong manusia untuk hanya menyibukkan diri dengan urusan sosial, hati bertugas menstabilkannya agar kesadaran untuk menunaikan kewajiban kepada Tuhan tetap terjaga.
Sebagai penyeimbang, Allah telah menjamin bahwa hati takkan pernah rusak dan kehilangan fungsinnya. Hati takkan pernah bisa dibohongi, sekuat apapun manusia berusaha untuk itu. Ia tetap bisa mendefinisikan apakah sikap dan perbuatan seseorang itu baik atau tidak. Seorang koruptur, misalnya, sekuat apapun ia berkelit membenarkan tindakannya, ia tetap takkan bisa mendustai hatinya yang mengatakan bahwa korupsi adalah tindakan yang salah. Sahabat yang bertekad menghabiskan waktu untuk beribadah tadi, juga takkan mungkin memungkiri suara hatinya bahwa tindakannya itu keliru.
Jadi, dalam ber-ta’alluq kepada Tuhan, kita harus menyerap energi yang dipancarkan kalimat tauhid secara proporsional, agar iman kita bisa membuat kita aktif dan dinamis. Sosok yang memiliki kedudukan mulai di sisi Tuhan dan juga terhormat di tengah-tengah manusia. Sosok yang mampu mewujudkan tujuan penciptaannya sebagai khalifah yang bertugas memakmurkan bumi dan beribadah kepada-nya. Dalam kaum sufi, inilah sosok ideal : singa siang hari, rahib malam hari. Ketika siang berperang segarang singa, ketika malam telah hening, ia bersimpuh bercucuran air mata di hadapan Allah SWT.
Dalam idiom agama, kita mengenal istilah Khaliq dan Makhluq. Khaliq adalah pencipta, sementara Makhluq adalah ciptaan. Istilah khaliq hanya mengacu pada satu entitas, yaitu Tuhan. Sementara makhluk mengacu kepada semua realitas selain diri-nya. Di antara sekian banyak ciptaan itu, manusia adalah makhluk paling ideal dan prima. Banyak bukti-bukti teologis dan empiris yang mengukuhkan kenyataan ini. Al-qur’an misalnya, secara tegas menyatakan bahwa menusia merupakan makhluk yang mendapatkan percikan ruh-nya.
Dalam hadits yang popular di kalangan sufi juga disebutkan bahwa manusia diciptakan sesuai dengan citra Tuhan. Ia menciptakan manusia sesuai dengan citranya. Fakta empiris juga menunjukkan bahwa manusia adalah makhluk paling unik yang tak pernah selesai didefinisikan. Bahkan hingga era ilmu pengetahuan yang berkembang pesat dan terklasifikasi ini. Definisi manusia yang dihasilkan ilmu politik, akan jauh berbeda dengan definisi ilmu ekonomi. Definisi manusia dari perspektif ilmu sosial jauh berbeda dengan ilmu agama. Intinya, sampai sekarang pun manusia masih belum bisa memotret dirinya secara utuh dan menyeluruh.
Manusia sebenarnya memiliki unsur-unsur ilahi dalam dirinya. Manusia adalah potret Tuhan yang menyejarah, hidup dalam ruang dan waktu. Manusia adalah mikroskosmos yang memiliki daya tampung luar biasa besar, melebihi mikroskosmos yang ia tempati. Karena itulah dalam adagium tasawuf disebutkan bahwa manusia ibarat seekor belalang kecil yang menempel pada dahan salah satu pohon di hutan nan luas, tapi pengetahuannya jauh melapaui luasnya hutan itu sendiri.
Unsur-unsur Ilahi ini sejatinya adalah instrumen yang dianugrahkan Tuhan kepada manusia supaya ia bisa menginsafi hakikat dirinya, untuk selanjutnya mengenal, mendekati dan menjalin hubungan elegan dengan Tuhan. Unsur-unsur itu adalah instrumen yang ditanamkan dalam diri manusia supaya ia bisa menerima pancaran cahaya Ilahi. Ketika manusia sudah mengenal Tuhan, secara otomotis, dia akan tertarik untuk meniru-Nya.
Naluri manusia itu fitri, hanif, dan memiliki banyak kesamaan dengan penciptanya. Contohnya, kala merasakan dirinya memiliki potensi bersikap adil, manusia pasti tertarik untuk mengenal sosok Maha Adil yang telah menganugerahinya potensi tersebut. Kala menginsafi dirinya memiliki potensi berkarya, manusia pasti tertarik untuk mengenal sosok Maha Berkarya yang telah menganugerahi potensi tersebut.
Jin dan manusia diciptakan dengan naluri atau bakat bawaan untuk menyembah kepada Allah. Agama mendampingi manusia supaya mereka tidak salah dalam mengembangkan bakat menyembahnya itu. Tanpa di dampingi, besar kemungkinan mansuia akan terjerumus untuk menyembah apa saja yang dianggapnya pantas disembah.
Singkatnya, relasi antara Tuhan dan manusia ini bisa di ilustrasikan dengan besi yang ditempelkan dan digosok-gosokkan dengan magnet. Pada mulanya, besi itu hanyalah penerima yang secara pasif hanya bisa pasrah ditarik oleh magnet, tapi semakin lama digosok, partikel penyusun besi secara otomatis akan teratur seperti partikel magnet, sehingga besi yang tadinya hanya bersikap pasif, sekarang berubah menjadi aktif dan mampu menjadi magnet baru walaupun kualitasnya tidak setara dengan magnet yang asli
Proses mengenal Tuhan ini berbeda dengan proses mengenli benda-benda instrinsik yang ada disekitar kita, seperti halnya makanan. Untuk mengenal makanan, kita cukup mengetahui, memiliki, kemudian memakannya sehinggga makanan itu masuk ke dalam tubuh kita. Untuk mengenal Tuhan berarti kita melakukan penetrasi dan transfer nilai-nilai luhur yang dimiliki Tuhan ke dalam diri. Meniru sifat-sifat Allah yang diterangkan dalam Al-qur’an dan sunnah untuk di aplikasikan secara nyata, sehingga manusia benar-benar bisa menjadi baying-bayang-Nya yang membumi. Maka, jika diccermati, sifat atau nama Allah dalam Al-qur’an dan sunnah sangat variatif, ada yang bernuasa feminism dan ada yang bercorak maskulin. Semua nama atau sifat Tuhan itu terangkum dalam Asmaul Husna yang berjumlah 99.
Walaupun sangat sederhana, konsep ketuhanan ini juga sangat abstrak. Karena, Tuhan dalam islam tidak boleh disimbolkan dengan secara visual, sehingga umat islam tidak mempunyai peta konkret yang menggambarkan Tuhannya. Memang, di atas kubah atau di dalam masjid sering didapati tulisan Allah dengan ornament kaligrafi yang indah. Tapi, semua umat islam tahu bahwa tulisan itu hanyalah hiasan untuk mempercantik majid, bukan symbol yang disembah dan dicintai. Tulisan itu bisa kusam dan luntur. Tapi konsep Tuhan dalam kalbu umat islam takkan pernah ikut kusam apalagi luntur.
Tuhan pada diri-Nya tidak membutuhkan nama. Nama itu muncul karena adanya relasi dengan yang lain. Ada khaliq pasti ada makhluq, ada ‘abid harus ada ma’bud. Tanpa nama, takkan mungkin terjadi hubungan. Anda bisa bayangkan seandainya dalam kehidupan ini tidak ada nama. Anda pasti sulit membedakan antara satu entitas dengan entitas yang lain. Lebih dari itu, tidak akan tercipta sebuah tatanan dan tidak ada ilmu pengetahuan. Di sinilah letak nilai-nilai edukasi dan relasi di balik nama Tuhan. Sebab, kalau Tuhan tidak memiliki nama, umat islam pasti tidak bisa untuk mengenal Tuhan-nya, apalagi Tuhan dalam islam sangat abstrak. Padahal, tujuan penciptaan makhluk dikalangan sufi adalah supaya Tuhan dikenali.
Dalam terminology agama, kita mengebal nama-nama indah Tuhan melalui Asmaul Husna yang berjumlah 99. Dalam hadits diterangkan bahwa orang yang memelihara Asmaul Husna pasti masuk surga. Ini adalah bukti bahwa untuk masuk surga, seorang hamba harus mampu ber-takhalluq dengan akhlak-akhlak tuhan yang tercermin dalam 99 nama indanya.
Asmaul Husna adalah nama-nama indah Tuhan yang bukan hanya memiliki makna, tapi juga memiliki kekuatan untuk merekonstruksi kehidupan manusia.
Sebagai makhluk yang terbatas dan sarat kekurangan, memang manusia harus meniru semua sifat Tuhan yang Maha Sempurna scara utuh dan menyeluruh. Dalam Asmaul Husna ada nama-nama tertentu yang khusus dimiliki Tuhan dan tidak bisa ditiru oleh manusia. Nama-nama yang bermakna metafisik inilah yang membedakan antara sang Khalik dan makhluk-Nya.
Jadi, yang dimaksud dengan meniru Tuhan secara utuh dan menyeluruh disini adalah meniru sifat-sifat yang konkret dan aplikatif secara seimbang, tidak berat sebelah apalagi persial. Dengan kata lain, meniru Tuhan secara kulli, bukan juz’i. Hanya peniruan semacam inilah yang akan menghasilkan pribadi luhur nana gung. Sebagai contoh, Tuhan memiliki nama al-alim sifat ini harus dibarengi dengan al-hadi. Dengan begitu, potensi kecerdasan dalam diri menjadi bermanfaat bagi orang lain. Tuhan memiliki nama atau sifat al-waliy, sifat ini harus dibarengi dengan al-raqib sehingga perlindungan yang diberikan tepat sasaran. Tuhan punyai nama al-qadir dan al-qahhar sifat ini harus disertai dengan al-wadud. Begitulah seterusnya.
Intinya, kita harus mampu menyandingkan dua sifat Tuhan yang sepintas terkesan paradoks itu agar melahirkan keseimbangan. Sebab, tanpa keseimbangan setidaknya akan timbul tiga dampak negatif.
Sepintas, orang lain sudah benar dan ber-takhalluq dengan benar pula. Ia hartawan dan dermawan, tapi karena tidak termat, praktis sedekahnya jatuh pada orang yang salah. Ketulusan dan keikhlasannya dalam memberi tetap membuat sedekahnya itu diterima, tapi bukankah akan lebih baik jika dia mengetahui lebih dahulu orang yang akan ia beri sedekah, sehingga ia benar-benar memberi kepada orang miskin, orang tidak mampu atau orang serba kekurangan.
Maka jika ditelusuri secara psikologis, semua perbuatan dosa berorientasi meraih kenikmatan sesaat dan menghancurkan investasi jangka panjang. Untuk ber-takhalluq dengan benar, seorang harus benar-benar cermat dalam membedakan mana yang kehendak Ilahi dan mana yang keinginan diri. Hal ini penting karena untuk ber-takhalluq seseorang harus mengesampingkan keinginan dirinya dan lebih mengutamakan kehendak Ilahi yang bersumber dari hati Nurani.
Takhalluq yang benar akan menghasilkan pribadi yang lentur dalam menghadapi kehidupan. Tahu harus bersikap seperti apa dalam segala situasi dan kondisi. Ibarat pohon bamboo yang cerdas melenturkan batangnya ke kanan dan ke kiri ketika ditiup angina kencang, tapi tetap tegak dan kokoh tidak bergeser apalagi roboh. Tidak bersikap keras kala kelembutan lebih bermanfaat dan tidak bersikap lemah saat ketegasan di butuhkan. Maksudnya, jangan bersikap keras ketka harus lembut agar tidak terjadi gejolak dan jangan bersikap lembut kala harus tegas agar martabat tidak dilecehkan.
Sepanjang hidup ini, kita bisa merasakan anugerah dan karunia Tuhan, tapi kita takkan mungkin menalarnya secara logis dan rasional. Kita pasti tahu bahwa yang menumbuhkan padi dan mengatur siklus rotasi bumi adalah Allah. Tapi pikiran kita adalah kita takkan mampu menganalisi bagaimana cara Tuhan melakukan keduanya. Di sinilah kemudian timbul ketegangan kreatif. Analogi kita mungkin membayangkan bahwa proses menumbuhkan padi sama dengan proses meregangkan karet, atau proses merotasi bumi sama dengan memutar bolah kecil yang diikat dengan benang.
Setelah menyadari keterbatasan diri, mari kita bersikap positif dan dinamis. Akui bahwa semua yang kita nikmati berasal dari Allah, lalu mohon agar Dia melimpahkan kerunianya supaya kita bisa menjadi sosok yang Dia kehendaki.
Jadi, insafilah bahwa semua kesuksesan yang diraih dan seluruh peristiwa yang dialami adalah berkat perkenaan Allah Yang Maha Kuasa. Dialah aktor sejati di balik semua itu. Potensi yang kita miliki atau uluran tangan orang lain, pada dasarnya adalah sarana yang dia gunakan untuk mewujudkan kehendaknya tersebut. Dia ingin mengajari kita bahwa ciri khas yang membedakan antara diri-nya dengan makhluk adalah usaha. Artinya, dia cukup mengatakan “kun” untuk mewujudkan keinginan-nya, sementara kita tidaklah demikian. Untuk mendapatkan apa yang kita inginkan, kita harus berusaha dan memanfaatkan mata rantai ketergantungan di antara sesama manusia. Di samping itu, kita juga harus sadar selaku makhluk sosial yang mustahil hidup mandiri, kita harus pandai berterim kasih atas jasa orang lain, dan tidak sungkan untuk meminta maaf atas kesalahan kita.
Kecerdasan seperti inilah yang harus di teladani. Tahu sikap terbaik yang sesuai dengan keadaan. Akurat dalam menampilkan sosok Tuahn yang ada dalam dirinya. Kala yang diperlukan adalah sosok Tuhan yang maskulin, jangan menghadirkan figure-nya yang feminism, sebaliknya saat dituntut untuk menghadirkan sosok feminism, jangan bersikap keras dengan meniru sifat-nya yang bernuasa maskulin.
Manusia juga demikian. Beragam corak dan warna kehidupan plus pengetahuannya yang sangat terbatas membuatnya sulit untuk bersikap konstan dan seimbang. Ada kalanya ion positif (domain istbat) begitu besar mengalir dalam dirinya sehingga ia hanya ingin beribadah mendekatkan diri kepada Tuhan, tidak mau terlibat persoalan sosial. Namun, ada kalanya juga ion negatif (domain naïf) begitu menguasai dirinya sehingga Tuhan tersingkar dalam kehiduapannya. Kedua fenomena ini bukan hal baru, dan sudah ada sejak zaman Rasulullah SAW.
Ironisnya, walaupun kedua ilmuan itu sukses menemukan teori-teori yang sangat fenomenal, ternyata menurut para pakar psikologi, mereka masih belum maksimal menggunakan potensi kecerdannya. Malah, menurut mereka, Einstein dan Hawking hanya memanfaatkan 10 persen dari total potensi mereka. Coba renungkan, kalau yang sehebat mereka saja ternyata baru bisa memanfaatkan 10 persen dari seluruh potensi yang mereka miliki, lantas bagaimana dengan kita? Berapa persen potensi kecerdasan yang bisa kita gunakan? Kalau orang yang bisa memanfaatkan 10 persen potensi intelektualitasnya saja bisa secerdas itu, lantas bagaimana dengan yang bisa memanfaatkannya hingga batas yang paling maksimal, 100 persen?
Mengapa manusia bisa sehebat dan secerda itu? Paling tidak, ada dua kerangka yang bisa digunakan untuk menjawab pertanyaan ini. Pertama, secara biologis manusia adalah makhluk yang memiliki anatomi paling rumit dan kompeleks. Saraf otak manusia mampu menyimpan berjuta-juta informasi, lalu mengolahnya dengan kreatif sehingga lahir karya-karya baru. Otak manusia memilah jutaan data yang masuk ke dalamnya untuk kemudian digabungkan-gabungkan menjadi satu sitesis baru. Proses ini terus berlangsung dan sambung menyambung dari satu generasi kegenerasi lain. Dengan begitu, ke depan, manusia masih akan melahirkan karya-karya baru yang spektakuler.
Kedua, adalah kerangka teologis artinya dalam diri manusia terkandung dimensi Ilahi. Dalam surah al-baqarah ayat 30, manusia adalah khalifah-Nya di muka bumi. Secara etimologis, arti khalifah adalah pengganti atau wakil. Dengan kata lain, mereka adalah wakil Tuhan di bumi ini. Maka manusia menjadi satu-satunya makhluk yang memiliki kemiripan sifat dengan Tuhan. Allah mencipta, manusia juga mencipta. Untuk membedakannya, Allah diberi atribut Maha, Maha Pencipta. Allah tahu, manusia juga tahu. Untuk membedakannya, Allah diberi atribut Maha Tahu. Demikian seterusnya. Intinya semua sifat yang dimiliki Tuhan juga dimiliki manusia, walaupun tentu saja dengan perbedaan kualitas dan kuantitas. Pengetahuan Allah jauh lebih luas dibandingkan dengan pengetahuan manusia, dan hasil ciptaan Allah jauh lebih hebat daripada ciptaan makhluk-Nya.
Kenyataan ini kemudian memungkinkan manusia untuk memikirkan Tuhan. Tapi ingat, pemikiran disini sebenarnya hanya bersifat analogis. Manusia memikirkan Tuhan melalui perspektif kemanusiaannya. Dan disini sebenarnya hanya bersifat analogis. Manusia memikirkan Tuhan melalui perspektif kemusiaannya. Dan ini memang satu-satunya cara yang bisa dilakukan manusia dalam memikirkan Tuhan. Sebab, tanpa analogi, Tuhan kemudian menjadi sangat jauh dan tidak terjangkau. padahal, kenyataannya Tuhan sangat dekat, bahkan lebih dekat dari urat nadi kita sendiri.
Di samping itu, dengan dimensi ilahiah yang dimiliki, manusia sejatinya mampu berhubungan denga Tuhan sekaligus mentransfer sifat-sifat-Nya. Dengan kata lain, dimensi ilahiah ini adalah perangkat yang dianugrahkan Tuhan agar manusia bisa mengenal diri-Nya. Maka wajar kalau kemudian Al-qur’an menyebut orang yang tidak mengenal Tuhan sebagai sosok yang bodoh. Orang yang tidak bisa mempergunakan mata, telinga, dan pikirannya.
Menurut Al-qur’an, agama itu bagaikan cahaya yang mengusir kegelapan dan menunjukkan jalan terang. Ia juga bagaikan limpahan air yang dapat memberikan kesejukkan dan kehidupan bagi umatnya.
RAHASIA DIBALIK
IBADAH RITUAL
Kata isra berarti sebuah perjalanan di tengah malam hari. Dalam bahasa agama, istilah malam hari mengandung makna sebuah kegelapan yang menawarkan keheningan. Di saat orang tengah tidur nyenyak, justru seorang pecinta damai dan pencerahan hati dipanggil Tuhan untuk bangun menunaikan salat tahjud.
Setiap malam seorang mukmim sesungguhnya memperoleh panggilan untuk melakukan isra, sebuah perjalanan malam yang amt berat karena harus berhasil memantahkan dorongan nafsu untuk tidur. Menurut hasil kajian psikologi, mereka yang membiasakan bangun malam lalu merenungkan makna dan tujuan hidup dalam suasana hati dan pikiran yang jernih.
Bayangkan seseorang yang hatinya selalu di dekatkan dan bahkan di sambungkan dengan Dia, sumber segala keagungan dan kesucian, maka pikiran, perasaan, ucapan, dan tindakan akan mantap, tenang, dan jernih. Sebaliknya, mereka yang hati dan pikirannya dipenuhi dengan energi negatif, keji, dan kotor seperti halnya penuh dengan prasangka, iri, tidak senang melihat orang lain sukses dan bahagia, senang mengambil hak orang lain, maka gerak-gerik ucapannya, ekspresi wajahnya dan tindakannya akan selalu merusak apa pun dan siapa pun yang berada di sekelilingnya.
Spirit dan makna isra sungguh sangat relevan untuk siapa pun yang hendak memperoleh pencerahan hati dan pikiran dengan jalan mendobrak dominasi hedonisme yang dilambangkan dengan gelapnya malam.
Allah mengecualikan orang beriman. Ingat bukan yang beragama. Ada perbedaan mendasar antara iman dan agama. Iman adalah keyakinan spiritual yang tertanam di hati, sedangkan agama adalah konstruksi sosial yang sekarang sudah memiliki institusi mandiri dan kerap kali dijadikan identitas suatu kemunitas. Iman tidak bisa ditunggangi oleh kepentingan-kepentingan jangka pendek, karena orientasinya sangat jauh ke depan, bahkan orientasinya sangat jauh ke depan, bahkan melintasi batas-batas waktu itu sendiri.
Setiap agama memiliki doktrin kesucian tempat dan waktu. Diharapkan umat beragama saling menghargai keyakinan serta ritual umat lainnnya. Diantara doktrin yang mencolok pada setiap agama adalah perintah bersembahyang dan berdo’a serta berpuasa meski dengan keyakina dan cara berbeda-beda. Meski dengan perintah ibadah masuk wilayah agama, dalam pelaksanaannya unsur budaya tidak bisa dipisahkan. Pelaksanaan puasa dan lebaran, misalnya aspek budayanya amat kental sehingga setiap negara memiliki kekhasan masing-masing.
Dalam ibadah puasa ada tiga aspek yang fundamental, yaitu mendekatkan diri kepada Tuhan, menyucikan diri dan membangun kesalehan sosial. Dengan ibadah puasa, seorang beriman berusaha mengaktifkan kekuatan rohaninya lalu berusaha mendekatkan diri kepada Tuhan sedekat mungkin. Dengan kedekatan dan intensitas berkomunikasi sifat dan nilai ilahi dalam proses seseorang diharapkan akan terjadi.
Apa yang selalu dipikirkan, dibayangkan, dan dirasakan akan mempengaruhi dan menggerakkan perilaku seseorang, jika hati dan pikiran selalu terikat dan tertuju kepada Allah, maka Allah akan merasuk ke dalam diri kita sehingga kita menjadi instrument Tuhan sebagai penyebar kasih dan kebajikan. Namun untuk meraih prestasi ini, kita harus membuka diri, membersihkan dan membuang jauh-jauh berbagai pikiran, perasaan, serta perilaku kotor karena akan menghalagi cahaya dan energi ilahi untuk turun ke dalam diri kita.
Ada tiga aspek yang bisa di amati sebagai buah dari puasa, yaitu kesehatan fisik dan mental serta kesalehan sosial. Ketiganya bisa diamati dengan pendekatan medis dan psikologis, apakah efek yang ditimbulkan puasa bagi seseorang. Berbagai kajian ilmiah menunjukkan, dampak puasa amat positif bagi kesehatan dan pembinaan mental.
Namun, menyangkut aspek metafisik-spiritual, hal itu kita serahkan sepenuhnya kepada Allah karena seseorang tidak punya wewenang dan kemampuan untuk mengukur keikhlasan dan ketakwaan seseorang. Tak ada yang tahu kualitas dan kedalaman puasa seseorang kecuali Allah. Dan sungguh, ketika menjalani puasa, senantiasa menyebarkan vibrasi kebaikan dan kedamaian. Efek sosial psikologis puasa mudah sekali kita amati dan rasakan terutama selama bulan Ramadhan. tiba-tiba kita menemukan aura spiritual yang begitu kental dalam keluarga, lingkungan kerja dan masyarakat.
Tiba-tiba kita merasakan terjadinya perubahan amat drastic, mayoritas masyarakat Indonesia berubah menjadi santun, mampu menahan diri, jujur, dan tidak ingin menyakiti orang lain.
Jika shalat dihayati dan dilaksanakan dengan serius, terlebih shalat malam, maka seseorang akan terbebas dari jeratan objek-objek kecintaan dunia yang serba sementara, karena dengan shalat kesadaran dan orientasi hidup seseorang menjadi lebih tinggi, holistic, dan kepribadiannnya terbentuk sehingga mudah membedakan antara objek perburuan dunia yang bersifat instrumental dan fundamental. Antara yang palsu dan sejati, antara kebahagiaan sesaat dan abadi, antara halal dan haram.
Memasuki orbit kesadaran ruhani yang begitu fitri, penglihatan kita akan menjadi lebih jernih. Kita di ajak memandang dunis lebih onjektif dengan ukuran kemanusiaan universal yang terpancar dari fitrian kita. Ketika pandangan kita dihadapkan pada sosok diri kita sendiri, kita malu pada diri kita sendiri, Tuhan, anak cucu, dan masyarakat dunia, bahwa kita sebagai bangsa ternyata belum begitu beradab, dan bahkan dikenal sebagai bangsa yang korup.
Di dalam setiap diri kita terdapat hati nurani, yaitu cahaya lembut dan cahaya kebaikan yang selalu memancarkan kebajikan Ilahi. Hanya saja volume dan frekuensinya yang berbeda-beda karena tidak semua orang konsisten menggosk cermin hati sebagai reflector nurani agar seluruh pikiran dan perilakunya mendapat bimbingan terang Ilahi.
Dalam konteks yang lebih luas, manusia sering kali tergoda dan tertipu untuk mengeduk kepuasan di dunia yang sangat singkat dibandingkan dengan merengkuh kenikmatan akhirat yang abadi. Banyak orang yang tidak tahan menjalani secuil derita kemiskinan di dunia lalu rela melakukan apa saja agar bisa kaya. Mereka tak lagi peduli apakah caranya dalam mengumpulkan harta benar atau salah, yang penting kaya. Bukankah manusia seperti ini pasti merugi. Betapa besarnya nilai waktu bagi manusia, dan betapa banyaknya manusia yang tertipu karena waktu. Jadi, wajar jika Allah menghabiskan waktu sebagai makhluk penting yang layak dijadikan jaminan sumpah-nya.
Sepanjang hidup ini, kita bisa merasakan anugrah dan karunia Tuhan, tapi kita takkan mungkin menalarnya secara logis dan rasional. Kita pasti tahu bahwa yang menumbuhkan padi dan mengatur siklus rotasi bumi adalah Allah.
Tapi pikiran kita takkan mampu menganalisis bagaimana cara Tuhan melakukan keduanya. Di sinilah kemudian timbul ketegangan kreatif. Analogi kita mungkin membayangkan bahwa proses menumbuhkan pada sama dengan proses meregangkan karet atau proses merotasi bumi sama dengan memutar bola kecil yang di ikat dengan benang.
Ketika diteliti secara mendetail, proses ketergantungan manusia sangatlah rumit dan panjang, membentuk semua mata rantai yang sangat berkesinambungan dan saling menopang, sehingga jika salah satu dari mata rantai itu putus, bisa dipastikan akan terjadi kekacauan. Coba sejenak kita renungkan, untuk sepiring nasi berikut lauk pauk yang akan kita nikmati, berapa banyak pihak yang terlibat? Sejak dari petani yang menanam padi, penggiling gabah, penjual beras, hingga ibu rumah tangga yang memasak dan menghidangkannya kepada kita. Begitu juga dengan pakaian yang kita kenakan, pernahkan terbayang dalam benak kita untuk berterima kasih kepada tangan-tangan yang telah berpartisipasi membuat pakaian tersebut terpasang ditubuh kita? Dari pemintal benang, pembuat kain, penjahit, hingga para pedagang yang menjualnya? Kalau untuk dua hal yang sepele ini saja manusia harus saling bantu satu sama lain, bagaimana dengan hal-hal yang lebih besar dan krusial?
Kenyataan ini membuktikan betapa manusia tidak mungkin sanggup menjalani rutinitas hidup sendirian. Ia pasti tergantung kepada instrument lain yang berada diluar dirinya. Bahkan untuk aktivitas yang purnamandiri sekalipun! Melamun, singkatnya, mustahil kita hidup sendiri dan mandiri tanpa membutuhkan sesuatu..
Setelah menyadari keterbatasan diri, mari kita bersikap positif dan dinamis. Akui bahwa semua yang kita nikmati berasal dari Allah, lalu mohon agar Dia melimpahkan kerunianya supaya kita bisa menjadi sosok yang Dia kehendaki.
Sebagai penyeimbang, Allah telah menjamin bahwa hati takkan pernah rusak dan kehilangan fungsinnya. Hati takkan pernah bisa dibohongi, sekuat apapun manusia berusaha untuk itu. Ia tetap bisa mendefinisikan apakah sikap dan perbuatan seseorang itu baik atau tidak. Seorang koruptur, misalnya, sekuat apapun ia berkelit membenarkan tindakannya, ia tetap takkan bisa mendustai hatinya yang mengatakan bahwa korupsi adalah tindakan yang salah. Sahabat yang bertekad menghabiskan waktu untuk beribadah tadi, juga takkan mungkin memungkiri suara hatinya bahwa tindakannya itu keliru.
Kesuksesan yang diraih dan seluruh peristiwa yang dialami adalah berkat perkenaan Allah Yang Maha Kuasa. Dialah actor sejati di balik semua itu. Potensi yang kita miliki atau uluran tangan orang lain, pada dasarnya adalah sarana yang dia gunakan untuk mewujudkan kehendaknya tersebut. Dia ingin mengajari kita bahwa cirri khas yang membedakan antara diri-nya dengan makhluk adalah usaha. Artinya, dia cukup mengatakan “kun” untuk mewujudkan keinginan-nya, sementara kita tidaklah demikian. Untuk mendapatkan apa yang kita inginkan, kita harus berusaha dan memanfaatkan mata rantai ketergantungan di antara sesama manusia. Di samping itu, kita juga harus sadar selaku makhluk sosial yang mustahil hidup mandiri, kita harus pandai berterim kasih atas jasa orang lain, dan tidak sungkan untuk meminta maaf atas kesalahan kita.
Spritualitas ilahi berasal dari Tuhan, sementara pribadi sehat merupakan receiver dan pemancar yang mampu mengubah jalannya sejarah, penggerak kekuatan emansipatoris dari berbagai penjara dan tirani kezaliman, kebodohan, kemalasan, dan penjara-penjara lain yang membuat keindahan dan keluasan hidup tidak bisa dinikmati.
Sebagai makhluk yang terbatas dan sarat kekurangan, memang manusia harus meniru semua sifat Tuhan yang Maha Sempurna scara utuh dan menyeluruh. Dalam Asmaul Husna ada nama-nama tertentu yang khusus dimiliki Tuhan dan tidak bisa ditiru oleh manusia. Nama-nama yang bermakna metafisik inilah yang membedakan antara sang Khalik dan makhluk-Nya.
Jadi, yang dimaksud dengan meniru Tuhan secara utuh dan menyeluruh disini adalah meniru sifat-sifat yang konkret dan aplikatif secara seimbang, tidak berat sebelah apalagi persial. Dengan kata lain, meniru Tuhan secara kulli, bukan juz’i. Hanya peniruan semacam inilah yang akan menghasilkan pribadi luhur nana gung. Sebagai contoh, Tuhan memiliki nama al-alim sifat ini harus dibarengi dengan al-hadi. Dengan begitu, potensi kecerdasan dalam diri menjadi bermanfaat bagi orang lain. Tuhan memiliki nama atau sifat al-waliy, sifat ini harus dibarengi dengan al-raqib sehingga perlindungan yang diberikan tepat sasaran. Tuhan punyai nama al-qadir dan al-qahhar sifat ini harus disertai dengan al-wadud. Begitulah seterusnya.
Intinya, kita harus mampu menyandingkan dua sifat Tuhan yang sepintas terkesan paradoks itu agar melahirkan keseimbangan. Sebab, tanpa keseimbangan setidaknya akan timbul tiga dampak negatif.
Sepanjang hidup ini, kita bisa merasakan anugerah dan karunia Tuhan, tapi kita takkan mungkin menalarnya secara logis dan rasional. Kita pasti tahu bahwa yang menumbuhkan padi dan mengatur siklus rotasi bumi adalah Allah. Tapi pikiran kita adalah kita takkan mampu menganalisi bagaimana cara Tuhan melakukan keduanya. Di sinilah kemudian timbul ketegangan kreatif. Analogi kita mungkin membayangkan bahwa proses menumbuhkan padi sama dengan proses meregangkan karet, atau proses merotasi bumi sama dengan memutar bolah kecil yang diikat dengan benang.
Setelah menyadari keterbatasan diri, mari kita bersikap positif dan dinamis. Akui bahwa semua yang kita nikmati berasal dari Allah, lalu mohon agar Dia melimpahkan kerunianya supaya kita bisa menjadi sosok yang Dia kehendaki.
Situasi Indonesia dan dunia hari-hari ini adalah sebuah dunia yang gelap, dunia yang carut merut akibat gaya hidup hedonistic yang dikendalikan oleh hati dan pikiran yang tidak senang melihat orang lain hidup damai dan bahagia. Sebuah proses perubahan sosial yang berlangsung tanpa kendali hati nurani yang tulus dan pikiran yang mencerahkan. Sebuah hiruk-pikuk politik yang berjalan tanpa desain dan actor yang memiliki komitmen kuat terhadap upaya penegakkan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan sebagaimana yang dicontohkan Nabi Muhammad ketika beliau harus berjalan sendiri dalam gelap menuju jalan terang dalam berbagai rintangan yang sangat berat.
Maka jika ditelusuri secara psikologis, semua perbuatan dosa berorientasi meraih kenikmatan sesaat dan menghancurkan investasi jangka panjang. Untuk ber-takhalluq dengan benar, seorang harus benar-benar cermat dalam membedakan mana yang kehendak Ilahi dan mana yang keinginan diri. Hal ini penting karena untuk ber-takhalluq seseorang harus mengesampingkan keinginan dirinya dan lebih mengutamakan kehendak Ilahi yang bersumber dari hati Nurani.
Takhalluq yang benar akan menghasilkan pribadi yang lentur dalam menghadapi kehidupan. Tahu harus bersikap seperti apa dalam segala situasi dan kondisi. Ibarat pohon bamboo yang cerdas melenturkan batangnya ke kanan dan ke kiri ketika ditiup angina kencang, tapi tetap tegak dan kokoh tidak bergeser apalagi roboh. Tidak bersikap keras kala kelembutan lebih bermanfaat dan tidak bersikap lemah saat ketegasan di butuhkan. Maksudnya, jangan bersikap keras ketka harus lembut agar tidak terjadi gejolak dan jangan bersikap lembut kala harus tegas agar martabat tidak dilecehkan.
Kenyataan ini membuktikan betapa manusia tidak mungkin sanggup menjalani rutinitas hidup sendirian. Ia pasti tergantung kepada instrument lain yang berada diluar dirinya. Bahkan untuk aktivitas yang purnamandiri sekalipun! Melamun, singkatnya, mustahil kita hidup sendiri dan mandiri tanpa membutuhkan sesuatu!
Ketergantungan inilah yang harus kita sikapi dengan bijak. Kita harus pandai berterima kasih dan rajin meminta maaf. Dalam tradisi masyarakat Barat, hal ini disebut sorry and thank you. Mengapa harus minta maaf? Karena dalam membangun interaksi dengan orang lain, kita pandai melakukan kesalahan, disengaja atau tidak. OLeh sebab itulah kita tidak boleh malu atau gengsi untuk meminta maaf kepada orang lain. Jangan pernah menggap bahwa meminta maaf dapat menjatuhkan derajat, karena yang terjadi justru sebaliknya. Semakin tulus seseorang mengakui kesalahannya dan meminta maaf, semakin terpancar pula keagungan kepribadiaanya. Dengan begitu, semakin tinggi martabatnya dimata orang lain.
Jadi, insafilah bahwa semua kesuksesan yang diraih dan seluruh peristiwa yang dialami adalah berkat perkenaan Allah Yang Maha Kuasa. Dialah actor sejati di balik semua itu. Potensi yang kita miliki atau uluran tangan orang lain, pada dasarnya adalah sarana yang dia gunakan untuk mewujudkan kehendaknya tersebut. Dia ingin mengajari kita bahwa cirri khas yang membedakan antara diri-nya dengan makhluk adalah usaha. Artinya, dia cukup mengatakan “kun” untuk mewujudkan keinginan-nya, sementara kita tidaklah demikian. Untuk mendapatkan apa yang kita inginkan, kita harua berusaha dan memanfaatkan mata rantai ketergantungan di antara sesama manusia. Di samping itu, kita juga harus sadar selaku makhluk sosial yang mustahil hidup mandiri, kita harus pandai berterim kasih atas jasa orang lain, dan tidak sungkan untuk meminta maaf atas kesalahan kita.
Dalam konteks yang lebih luas, manusia sering kali tergoda dan tertipu untuk mengeduk kepuasan di dunia yang sangat singkat dibandingkan dengan merengkuh kenikmatan akhirat yang abadi. Banyak orang yang tidak tahan menjalani secuil derita kemiskinan di dunia lalu rela melakukan apa saja agar bisa kaya. Mereka tak lagi peduli apakah caranya dalam mengumpulkan harta benar atau salah, yang penting kaya. Bukankah manusia seperti ini pasti merugi. Betapa besarnya nilai waktu bagi manusia, dan betapa banyaknya manusia yang tertipu karena waktu. Jadi, wajar jika Allah menghabiskan waktu sebagai makhluk penting yang layak dijadikan jaminan sumpah-nya.
Di dalam setiap diri kita terdapat hati nurani, yaitu cahaya lembut dan cahaya kebaikan yang selalu memancarkan kebajikan Ilahi. Hanya saja volume dan frekuensinya yang berbeda-beda karena tidak semua orang konsisten menggosk cermin hati sebagai reflector nurani agar seluruh pikiran dan perilakunya mendapat bimbingan terang Ilahi.
Memasuki orbit kesadaran ruhani yang begitu fitri, penglihatan kita akan menjadi lebih jernih. Kita di ajak memandang dunis lebih onjektif dengan ukuran kemanusiaan universal yang terpancar dari fitrian kita. Ketika pandangan kita dihadapkan pada sosok diri kita sendiri, kita malu pada diri kita sendiri, Tuhan, anak cucu, dan masyarakat dunia, bahwa kita sebagai bangsa ternyata belum begitu beradab, dan bahkan dikenal sebagai bangsa yang korup.
Bayangkan seseorang yang hatinya selalu di dekatkan dan bahkan di sambungkan dengan Dia, sumber segala keagungan dan kesucian, maka pikiran, perasaan, ucapan, dan tindakan akan mantap, tenang, dan jernih. Sebaliknya, mereka yang hati dan pikirannya dipenuhi dengan energi negatif, keji, dan kotor seperti halnya penuh dengan prasangka, iri, tidak senang melihat orang lain sukses dan bahagia, senang mengambil hak orang lain, maka gerak-gerik ucapannya, ekspresi wajahnya dan tindakannya akan selalu merusak apa pun dan siapa pun yang berada di sekelilingnya.
Situasi Indonesia dan dunia hari-hari ini adalah sebuah dunia yang gelap, dunia yang carut merut akibat gaya hidup hedonistic yang dikendalikan oleh hati dan pikiran yang tidak senang melihat orang lain hidup damai dan bahagia. Sebuah proses perubahan sosial yang berlangsung tanpa kendali hati nurani yang tulus dan pikiran yang mencerahkan. Sebuah hiruk-pikuk politik yang berjalan tanpa desain dan actor yang memiliki komitmen kuat terhadap upaya penegakkan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan sebagaimana yang dicontohkan Nabi Muhammad ketika beliau harus berjalan sendiri dalam gelap menuju jalan terang dalam berbagai rintangan yang sangat berat.
Sepanjang hidup ini, kita bisa merasakan anugerah dan karunia Tuhan, tapi kita takkan mungkin menalarnya secara logis dan rasional. Kita pasti tahu bahwa yang menumbuhkan padi dan mengatur siklus rotasi bumi adalah Allah. Tapi pikiran kita adalah kita takkan mampu menganalisi bagaimana cara Tuhan melakukan keduanya. Di sinilah kemudian timbul ketegangan kreatif. Analogi kita mungkin membayangkan bahwa proses menumbuhkan padi sama dengan proses meregangkan karet, atau proses merotasi bumi sama dengan memutar bolah kecil yang diikat dengan benang.
Setelah menyadari keterbatasan diri, mari kita bersikap positif dan dinamis. Akui bahwa semua yang kita nikmati berasal dari Allah, lalu mohon agar Dia melimpahkan kerunianya supaya kita bisa menjadi sosok yang Dia kehendaki.
Mengapa manusia bisa sehebat dan secerda itu? Paling tidak, ada dua kerangka yang bisa digunakan untuk menjawab pertanyaan ini. Pertama, secara biologis manusia adalah makhluk yang memiliki anatomi paling rumit dan kompeleks. Saraf otak manusia mampu menyimpan berjuta-juta informasi, lalu mengolahnya dengan kreatif sehingga lahir karya-karya baru. Otak manusia memilah jutaan data yang masuk ke dalamnya untuk kemudian digabungkan-gabungkan menjadi satu sitesis baru. Proses ini terus berlangsung dan sambung menyambung dari satu generasi kegenerasi lain. Dengan begitu, ke depan, manusia masih akan melahirkan karya-karya baru yang spektakuler.
Kedua, adalah kerangka teologis artinya dalam diri manusia terkandung dimensi Ilahi. Dalam surah al-baqarah ayat 30, manusia adalah khalifah-Nya di muka bumi. Secara etimologis, arti khalifah adalah pengganti atau wakil. Dengan kata lain, mereka adalah wakil Tuhan di bumi ini. Maka manusia menjadi satu-satunya makhluk yang memiliki kemiripan sifat dengan Tuhan. Allah mencipta, manusia juga mencipta. Untuk membedakannya, Allah diberi atribut Maha, Maha Pencipta. Allah tahu, manusia juga tahu. Untuk membedakannya, Allah diberi atribut Maha Tahu. Demikian seterusnya. Intinya semua sifat yang dimiliki Tuhan juga dimiliki manusia, walaupun tentu saja dengan perbedaan kualitas dan kuantitas. Pengetahuan Allah jauh lebih luas dibandingkan dengan pengetahuan manusia, dan hasil ciptaan Allah jauh lebih hebat daripada ciptaan makhluk-Nya.
AGAMA DAN KESEHATAN MENTAL
BAB I Pengertian Kesehatan Mental, Masalah Kesehatan Mental dan Pengaruh-pengaruhnya serta Prinsip-prinsip Kesehatan Mental
A. Pengertian Kesehatan Mental
Apabila ditinjau dari etimologi. Kata mental berasal dari kata latin, yaitu mens atau mentis artinya roh, sukma, jiwa, atau nyawa, di dalam bahasa Yunani kesehatan terkandung dalam kata hygiene, yang berarti ilmu kesehatan. Maka kesehatan mental merupakan bagian dari hygiene mental (ilmu kesehatan mental)
Ilmu kesehatan mental adalah ilmu yang mempelajari masalah kesehatan mental/jiwa, yang bertujuan menacegah timbulnya gangguan/penyakit mental dan gangguan emosi, dan berusaha mengurangi/menyembuhkan penyakit mental serta mengajukan kesehatan jiwa rakyat.
Pengetahuan ini berkembang luas di negara-negara yang maju. Bahkan pada beberapa negara. Pengetahuan ini mencapai tingkat pencegahan (preventive) agar tidak lagi ada penderitaan, kegelisahan, dan gangguan jiwa.
Kesehatan mental sebagai disiplin ilmu yang merupakan bagian daari PSI Agama, terus berkembang dengan pesat.
Dari pengertian diatas dapat diambil suatu batasan bahwa orang yang sehat mental adalah orang yang terhindar dari gangguan dan penyakit jiwa, mampu menyesuaikan diri, sanggup menghadapi masalah-masalah dan kegoncangan-kegoncangan yang bias, adanya keserasian fungsi jiwa dan merasa bahwa dirinya berharga, berguna dan berbahagia serta dapat menggunakan potensi-potensi yang ada semaksimal mungkin.
B. Masalah Kesehatan Mental
Kesehatan mental/jiwa selalu mempersoalkan mental/jiwa yang dimiliki seseorang apakah bermasalah/memiliki kehidupan rohani yang sehat dan juga menekankan pada keutuhan pribadi psiko-fisik manusia menyeluruh.
Untuk mencapai kesehatan mental, kita harus mengenal diri sendiri dan bertindak sesuai dengan kemampuan dan kekurangan diri kita. Hal ini bukan berarti kita harus mengabaikan orang lain.
Kesehatan mental sebagai ilmu membicarakan bagaimana cara seseorang memecahkan masalah batin sehingga ia mampu memahami berbagai kesulitan hidup dan melakukan berbagai upaya agar jiwanya menjadi bersih.
Dengan memahami ilmu kesehatan mental dalam arti mengerti, mau dan mampu mengaktualisasikan dirinya, maka seseorang tidak akan mengalami bermacam-mcam ketegangan, ketakutan dan konflik batin. Permasalahan lain yang erat hubungannya dengan ilmu kesehatan mental, antara lain adanya usaha untuk menghindari unsure tekanan batin, konflik pribadi dan menciptakan integrasi batun yang baik untuk melawan ketegangan dan konflik.
Pada umumnya setiap orang senantiasa memiliki mental yang sehat. Namun karena sesuatu sebab ada sebagian orang yang memiliki mental tidak sehat. Orang yang tidak sehat mentalnya memiliki tekanan-tekanan bathin.
Orang yang mentalnya kacau, tidak dapat memperoleh ketenangan hidup. Jiwa mereka sering terganggu sehingga menimbulkan stress dan konflik batin. Sebaliknya orang yang bermental sehat akan merasakan suasana batin yang aman, tentram dan sejahtera.
Masa sekarang kesehatan mental (mental hygne atau mental health) berusaha membina kesehatan mental dengan memandang manusia sebagaimana adanya. Artinya ksehatan mental memandang manusia sebagai satu kesatuan psikosomatik, kesatuan jiwa raga/kesatuan jasmaniah rohani secara utuh. hilangnya gangguan mental merupakan tujuan psikoterapi.
C. Pengaruh-pengaruh Kesehatan Mental
1. Pengaruh Kesehatan Mental Terhadap Perasaan
Berbagai perasaan yang menyebabkan terganggunya kesehatan mental ialah :
1. Rasa Cemas
Adanya perasaan tidak menentu, panic, takut tanpa sebab. Yang menyebabkan timbulnya perasaan gelisah pada diri seseorang.
2. Iri Hati
Perasaan iri hati sering terjadi dalam diri seseorang. Namun sebenarnya perasaan ini bukan karena adanya kedengkian dalam dirinya melainkan karena ia sendiri tidak merasakan bahagia dalam hidupnya.
3. Rasa Sedih
Rasa sedih terkadang berpangkal dari hal-hal sepele yang terjadi karena kesehatan mental yang terganggu bukan karena penyebab kesedihannya secara langsung.
4. Rasa Rendah Diri dan Hilangnya Kepercayaan Diri
Rasa rendah diri menyebabkan seseorang menjadi mudah tersinggung sehingga menyebabkan orang yang bersangkutan tidak mau bergaul karena merasa dikucilkan
5. Pemarah
Seseorang yang sering marah-marah tanpa sebab biasanya megalami gangguan kesehatan mental. Pada dasarnya marah merupakan ungkapan kekecewaan/ketidakpuasan hati.
2. Pengaruh Kesehatan Mental Terhadap Kecerdasan
Kecerdasan seseorang merupakan warisan dari orang tuanya. Hal ini terbukti dari berbagai penelitian yang dilakukan para ahli. Namun demikian, kecerdasan tidak akan berkembang bila tidak didukung oleh lingkungan dan adanya kesempatan yang dapat merangsang kecerdasan tersebut.
3. Pengaruh Kesehatan Mental Terhadap Tingkah Laku
Perilaku seseorang dipengaruhi oleh suasana hati. Contoh, seorang anak dimarahi orangtuanya, dalam hatinya ia ingin memberontak perlakuan kedua orangtuanya, tetapi dia tidak berani, sehingga terjadilah pertentangan batin. Antara ingin melawan dan takut akan hukuman dan kekerasan orangtua.
4. Pengaruh Kesehatan Mental Terhadap Kesehatan Badan
Setiap orang yang mentalnya sehat cenderung memiliki badan yang sehat. Akhir-akhir ini banyak terdapat penyakit yang dinamakan psychosomatic yaitu penyakit badan yang disebabkan oleh mental.
Penyakit-penyakit lain akibat tergangunya perasaan dan pikiran adalah tekanan darah tinggi, tekanan darah rendah, eksim, sesak nafas, dan sebagainya.
D. Prinsip-prinsip Kesehatan Mental
Prinsip-prinsip kesehatan mental adalah dasar yang harus ditegakkan orang dalam dirinya untuk mendapatkan kesehatan mental yang baik serta terhindar dari gangguan jiwa.
Dalam buku kesehatan mental (mental hygne) kepribadian yang mantap adalah kepribadian yang mampu menyesuaikan diri yang baik merupakan dasar kebahagiaan. Dalam buku tersebut dibahas prinsip-prinsip kesehatan mental dan penyesuaian diri (adjustment). Ada 16 prinsip penting yang dibagi dalam 3 kelompok.
a. Prinsip-prinsip yang didasarkan pada kodrat manusia (nature of man)
Prinsip I : Kesehatan mental dan adjustment menghendaki adanya kesehatan badan dan integrasi.
Prinsip tersebut menunjukkan bahwa manusia merupakan kesatuan yang utuh dan bulat dari segi jasmaniah dan rohaniah yang tidak dapat dipisahkan.
Prinsip 2 : Untuk mempertahankan kesehatan mental dan penyesuaian diri yang baik perilaku menusia harus sesuai dengan kodratnya sebagai makhluk biologis, sosial psikologis dan rohaniah.
Manusia sebagai makhluk biologis, sosial psikologis dan rohaniah membutuhkan keharmonisan dalam memenuhi dan mengejar kebutuhan akan nilai-nilai biologis, sosial psikologis dan rohaniah.
Prinsip 3 : Kesehatan mental dan adjustment menghendaki integritas dan control diri yang meliputi pengendalian pikiran, hayalan, keinginan, kemauan, ambisi, dan tingkah laku.
Tanpa integritas dan pengendalian diri maka kemampuan dan kesehatan mental seseorang dalam menyelesaikan dan menghadapi tuntutan hidup, konflik, frustasi dalam kehidupan sehari-hari akan dirugikan secara serius.
Prinsip 4 : Untuk mencapai dan mempertahankan kesehatan mental dan adjustment diperlukan pengetahuan yang luas tentang diri sendiri.
Pengetahuan mengenai diri sendiri meliputi kemampuan diri, keinginan, motivasi, alam perasaan dan aspek kepribadian lainnnya.
Prinsip 5 : Kesehatan mental dan adjustment menghendaki suatu pengertian yang sehat tentang diri sendiri yang mencakup penerimaan diri sendiri dan penilaian realistis terhadap status dan harga diri.
Prinsip ini berhubungan erat dengan self insight. Menerima diri sendiri sebagaimana adanya sangat diperlukan untuk stabilitas mental.
Prinsip 6 : Untuk mencapai kesehatan mental dan adjustment diperlukan suatu usaha terus menerus untuk mengembangkan diri/meningkatkan diri dan merealisasikan diri.
Pengenalan diri merupakan dasar untuk mengembangkan diri yang berarti perkembangan secara bertahap terus menerus pada kemantapan dan kematangan atau kedewasaan kepribadian serta peningkatan prestasi.
Prinsip 7 : Kemantapan mental dan penyesuaian diri yang baik memerlukan suatu perkembangan yang berlanjut dalam diri manusia mengenai sifat-sifat moral yang tinggi.
Kodrat manusia sebagai makhluk rohani dimanifestasikan dalam kehidupan beragama dan bermoral.
Prinsip 8 : Untuk mencapai dan mempertahankan kesehatan mental dan adjustment perlu belajar dan mengembangkan kebiasaan yang baik.
Pengembangan sifat-sifat moral yang baik merupakan sebagian dari pengembangan kebiasaan.
Prinsip 9 : Stabilitas mental dan adjustment menghendaki suatu kemampuan untuk mengubah sesuatu sesuai dengan perubahan kepribadian.
Karena lingkungan selalu berubah, maka adjustment bersifat dinamis. Kebiasaan yang baik memang perlu untuk kesehatan mental dan mencapai penyesuaian diri.
Prinsip 10 : Kesehatan mental dan adjustment menghendaki usaha yang berlanjut untuk menjadi dewasa/matang dalam berpikir, memutuskan sesuatu, sikap, emosi, dan tingkah laku.
Prinsip 11 : Kesehatan mental dan adjustment menghendaki manusia belajar cara-cara menyelesaikan konflik, frustasi dan ketegangan-ketegangan jiwa yang timbul secara efektif dan efisien.
Untuk mencapai kedewasaan dan kematangan kepribadian yang sehat memerlukan proses perkembangan panjang dan lama
b. Prnsip-prinsip yang didasarkan pada hubunga manusia dengan manusia lain dan lingkungannya.
Prinsip 12 : Kesehatan mental dan adjustment bergantung pada hubungan menusiawi yang sehat, terutama hubungan dalam kehidupan keluarga.
Kesehatan mental dan penyesuaian diri merupakan suatu prestasi yang progresif serta menghendaki pertumbuhan, perkembangan dan kedewasaan.
Prinsip 13 : Kebahagian adjustment bergantung pada pekerjaan yang sesuai dan memuaskan.
Pekerjaan merupakan kenyataan hidup yang penting, terutama bagi orang-orang dewasa. Kepuasan kerja bagi orang dewasa, sama dengan permainan dan rekreasi yang sehat bagi adjustment anak-anak.
Prinsip 14 : Kesehatan mental dan adjustment menghendaki sikap yang realistis dengan menerima realitas tanpa diputar balikkan serta menerima hal-hal yang objektif dan sehat.
Prinsip-prinsip yang didasarkan pada hubungan manusia dengan Tuhan.
Prinsip 15 : Kesehatan dan kemantapan mental menghendaki agar setiap orang memiliki kesadaran yang makin berkembang mengenai suatu realitas yang lebih besar dan luhur daripada dirinya sendiri, dimana ia sangat bergantung padanya dengan cara-cara yang sangat fundamental.
Manusia sebagai makhluk rohaniah berusaha agar hidupnya bermakna dan mempunyai arti.
Prinsip 16 : Kesehatan mental dan ketenangan batin menghendaki hubungan aktif dan konstan dengan tuhan melalui penerimaan dan pelaksaan perintahnya serta meninggalkan larangannya.
Pengakuan secara intelektual tentang ketergantungan manusia dengan tuhan tidak cukup, pengakuan ini harus direalisasikan dan dimanifestasikan melalui hubungan aktif dengan Tuhan berupa shalat, berpuasa, berkorban, dan melaksanakan perintahnya dan menjauhi larangannya.
Demikianlah prinsip-prinsip kesehatan mental, pengembangan dan penyesuaian diri (adjustment) yang merupakan dasar kebahagiaan bagi setipa orang. Kekurangan pelakasaan prinsip-prinsip itu akan mengurangi kebahagiannya.
BAB II Kedudukan dan Peran Kesehatan Mental
Para ahli sepakat bahwa kedudukan kesehatan mentald apat digolongkan menjadi 3 (tiga) bagian, yaitu :
1. Kesehatan mental sebagai kondisi (keadaan)
Kedudukan kesehatan mental sebagai kondisi mengacu kepada pengertian kesehatan mental sepertia diatas seperti terhindar gangguan kejiwaan dan penyakit kejiwaan.
2. Kesehatan mental sebagai ilmu pengetahuan
Sebagai cabang ilmu psikologi, kesehatan mental bertujuan untuk mengembangkan semua potensi yang ada pada manusia seoptimal mungkin, serta memanfaatkannya sebaik-baiknya agar terhindar dari gangguan dan penyakit kejiwaan.
3. Kesehatan sebagai terapi
Kesehatan mental sebagai ilmu jiwa terapan, mengkaji dan mengembangkan teknik-teknik konseling dan terapi kejiwaan.
Dari uraian singkat diatas dapat dilihat babagaimana kesehatan mental dalam islam. Kesehatan mental dalam islam adalah ibadah yang memiliki manusia dalam rangka pengabdian kepada Allah dan agama.
BAB III Peranan Pendidikan Agama Terhadap Kesehatan Mental
A. Pendidikan Agama
Pembinaan mental dimulai dari rumah tangga karena si anak mulai menerima didikan dari ibu-bapaknya, kemudian dari anggota keluarga lain yang semuanya ikut memberikan dasar-dasar kepribadian.
Pendidikan agama harus diberikan sejak kecil setiap anak, karena bila tidak demikian, sukarlah baginya untuk menerimanya pada saat mereka dewasa, hal ini mendorong mereka untuk melakukan segala sesuatu menurut dorongan dan keinginan jiwanya tanpa memperdulikan kepentingan dan hak orang lain.
Pentingnya pendidikan agama bagi pembinaan mental dan akhlak anak-anak menyebabkan pendidikan agama harus dilanjutkan disekolah.
Pendidikan agama disekolah sangat berperan dalam pembinaan dan penyempurnaan pertumbuhan kepribadian anak didik. Karena pendidikan agama disekolah dapat melatih anak didik untuk melakukan ibadah dan praktek-praktek, yaitu agama lain yang menghubungkan manusia dengan Tuhan.
Dalam pendidikan agama juga dipelajari hakikat dari ajaran-ajaran Tuhan yang harus diketahui. Anak didik harus ditunjukkan perintah, larangan, hal-hal yang dibolehkan, hal-hal yang dianjurkan untuk meninggalkannya menurut ajaran agama.
B. Kebutuhan Manusia Akan Agama
Ahli jiwa membuktikan bahwa salah satu akibat terjadinya gangguan jiwa adalah ketidakberhasilan seseorang dalam memenuhiii kebutuhan-kebutuhan. Hal ini akan menyebabkan timbulnya perasaan gelisah dan gangguan kestabilan emosi seseorang.
Kebutuhan yang menjadi persoalan adalah kebuthan primer (kebutuhan jasmaniah) dan kebutuhan rohaniah (psikis dan sosial). Kebutuhan primer harus berusaha mencari dan memenuhi kebutuhan hidupnya dan tidak boleh berputus asa karena Allah SWT menjamin bahwa tidak ada satu makhluk hidup pun yang tidak mendapatkan rezeki bila mereka berusaha.
Di antara keinginan-keinginan/kebutuhan-kebutuhan jiwa yang banyak itu ada beberapa kebutuhan-kebutuhan pokok yang terdapat oleh setiap orang. Kebutuhan tersebut adalah sebagai berikut :
1. Kebutuhan akan rasa kasih sayang
2. Kebutuhan akan rasa aman
3. Kebutuhan akan rasa harga diri
4. Kebutuhan akan rasa bebas
5. Kebutuhan akan rasa sukses
6. Kebutuhan akan rasa tahu
C. Peranan Pendidikan Agama Terhadap Kesehatan Mental
Ada beberapa peranan pendidikan agama dalam kesehatan mental, antara lain :
1. Dengan agama, dapat memberikan bimbingan hidup
Ajaran agama yang ditanamkan sejak kecil kepada anak-anak dapat membentuk kepribdian yang islami. Anak akan mampu mengendalikan keinginan-keinginan dan dorongan-dorongan yang timbul dalam dirinya. Apabila dalam dirinya telah terbentuk suatu kepribadian yang harmonis, maka ia mampu menghadapi dorongan yang bersifat fiisk dan rohani sehingga ia dapat bersikap wajar, tenang dan tidak melanggar hokum dan peraturan masyarakat.
Ajaran agama akan memberikan bimbingan hidup dari masa kecil sampai dewasa, baik melingkupi pribadi, kelurga, masyarakat atau hubungan dengan Allah
Orang yang beragama walaupun hidup dalam masyarakat modern, ia tetap berusaha melaksanakan aturan-aturan agama dalam setiap kegiatannya. Dia tidak mudah terseret oleh kebahagiaan sesaat saja karena seluruh kehidupannya telah ia rasakan kepada Tuhan YME.
2. Ajaran agama sebagai penolong dalam kesukaran
Setiap orang pasti pernah merasakan kekecewaan, sehingga bila ia tidak berpegang teguh pada ajaran agama, dia akan memiliki perasaan rendah diri, apatis, pesimis dan merasakan kegelisahan.
Bagi orang yang berpegang teguh pada agama, bila ia mengalami kekecewaan, ia tidak akan merasa putus asa tetapi ia menghadapinya dengan tenang dan tabah. Ia segera mengingat Tuhan sehingga ia dapat menemukan factor-faktor yang menyebabkan kekecewaan dengan demikian ia terhindar dari gangguan jiwa.
3. Aturan agama dapat mententramkan batin
Agama dapat memberikan jalan penerang hati bagi jiwa yang sedang gelisah. Banyak orang yang tidak menjalankan perintah agama, selalu merasa gelisah dalam hidupnya. Tetapi setelah menjalankan perintah agama, ia mendapatkan ketenangan hati.
4. Ajaran agama sebagai pengendalian moral
Moral adalah kelakukan sesuai dengan ukuran-ukuran (nilai-nilai) masyarakat yang timbul dari hati dan disertai pula oleh rasa tanggung jawab atas kelakuan.
5. Agama dapat menjadi terapi jiwa
Agama dapat membendung dan menghindarkan gangguan jiwa, sikap, perasaan dan kelakuan yang menyebabkan kegelisahan akan dapat diatasi bila manusia menyesali perbuatannya dan memohon ampun kepada Allah SWT
6. Peranan agama bagi pembinaan mental
Unsur-unsur yang terpenting dalam menentukan corak kepribadian seseorang adalah nilai-nilai agama, moral dan sosial (lingkungan) yang diperolehnya. Jika dimasa kecil mereka memperoleh pemahaman mengenai nilai-nilai agama. Maka kepribadian mereka akan mempunyai unsur-unsur yang baik. Nilai agama akan tetap dan tidak berubah-ubah, sedangkan nilai-nilai sosial dan moral sering mengalami perubahan, sesuai dengan perubahan perkembangan masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar