Jumat, 25 Juni 2010

PENTINGNYA INOVASI DAN PENGEMBANGAN KURIKULUM
DALAM PENDIDIKAN TEOLOGI
(Oleh: Mursyid, S,Pdi)
I- Pengantar
Kalau kita berbicara mengenai inovasi dan pengembangan kurikulum, pertanyaan pertama ialah mengapa harus memikirkan dan melakukannya? Apa alasannya? Jawaban saya ialah kita melakukan pengembangan kurikulum karena sifat kurikulum yang dinamis, selalu berubah, menyesuaikan diri dengan kebutuhan mereka yang belajar. Audrey & S.Howard Nicholls (1982)[2] mengemukakan bahwa karena masyarakat dan mereka yang belajar mengalami perubahan maka langkah awal dalam perumusan kurikulum ialah penyelidikan mengenai situasi (situation analysis) yang kita hadapi, termasuk situasi lingkungan belajar dalam artian menyeluruh, situasi peserta didik, dan para calon pengajar yang diharapkan melaksanakan kegiatan (h.21-30).
Dr. Judo Poerwowidagdo (1994)[7] pernah mengingatkan institusi pendidikan teologi di masa lalu, bahwa dinamika globalisasi mengharuskan pendidikan teologi di Indonesia untuk senantiasa memikirkan pembaruan dalam banyak aspek selain kurikulum. Beliau antara lain menegaskan bahwa pendidikan teologi perlu memikirkan paradigma baru di dalam berkarya, antara lain: a) pendidikan harus diarahkan kepada pemimpin-pemampu dalam pelayanan kristiani, tahbisan maupun tanpa tahbisa; b) harus melibatkan peserta didik pria maupun wanita; c) harus mempunyau kurikulum yang fleksibel, banyak mengembangkan sistem modul; d) menekankan pendidikan berbasis kampus, jemaat dan masyarakat setempat; e) proses belajar lebih banyak terjadi dalam kelompok; f) memandang bahwa keunggulan akademis tidak hanya diukur dari penguasaan isi teologi tetapi juga dari kemampuan berteologi secara dinamis; f) pendekatan dalam belajar lebih ke arah pembentukan keterampilan; g) menyediakan banyak kuliah pilihan; h) mengembangkan kerjsama antar denominasi; i) berorientasi Alkitab-kontekstual; dan j) melengkapi mahasiswa supaya mampu melakukan analisis sosio-antropologis bukan hanya analisis Alkitab secara tekstual-kritis.
II – Prinsip kerja
Jika pengembangan kurikulum pendidikan teologi penting untuk dikerjakan, maka pertanyaan sekarang ialah: Bagaimanakah prinsip kerja kita dalam mengembangkan kurikulum itu? Meminjam pemikiran Nana Syaodih Sukmadinata[9], ada dua prinsip yang dikemukakan di sini. Pertama, prinsip umum. Kedua, prinsip khusus. Yang dimaksud dengan prinsip umum ini ialah:
1 – Prinsip relevansi. Kurikulum yang kita rancang dan kembangkan harus relevan dengan kebutuhan peserta didik untuk menjawab kebutuhan gereja guna mewujudukan rencana Allah dalam dunia ini. Kita tahu bahwa Allah memanggil gereja dalam dunia untuk mempermuliakan nama-Nya (bd Ef 3:10); dengan memberitakan Injil kepada segala mahluk, dan menjadikan orang dari segala suku bangsa menjadi murid Kristus Yesus (bd Mat 28:19-20).
2 – Prinsip fleksibilitas. Kurikulum yang kita rancang dan kembangkan perlu bersifat adaptif, mampu menyesuaikan diri dengan konteks pembelajaran. Pertimbangan konteks di sini mencakup aspek ruang dan waktu, sosial, budaya dan dinamika keagamaan.
3 – Prinsip kontinuitas. Kurikulum yang kita rancang dan kembangkan harus memungkinkan peserta didik lebih sanggup mengembangkan potensinya kelak dalam rencana belajar berikutnya (prinsip belajar sepanjang hayat).
4 – Prinsip praktis. Kurikulum sebaiknya mudah digunakan dengan alat sederhana dan biaya relatif murah, terutama dalam situasi ekonmi dewasa ini. Selain itu, apa yang dipelajari mahasiswa seharusnya mampu membentuk dan meningkatkan kompetensi mereka di dalam kehidupan sehari-hari, untuk menunaikan tugas dan pelayanan gereja.
5 – Prinsip efektivitas. Prinsip ini mengacu kepada masalah keberhasilan kurikulum itu sendiri. Mahasiswa diharapkan banyak belajar dari kurikulum yang berlaku untuk memperlengkapi hidupnya. Efektivitas sebuah kurikulum harus dilihat dari sejauhmana perubahan hidup dialami oleh peserta didik, sebagaimana nampak dalam kehidupan dan karya pelayanannya.
3- Metode pembelajaran[15].
Ada sejumlah pertanyaan yang patut kita ajukan dalam mengembangkan metode pembelajaran ini, yaitu:
a) Kecocokan metode, sehingga jangan asal memilihnya. Dengan metode apakah sebuah mata kuliah diajarkan? Mengapa demikian? Perlukah studi kasus disamping diskusi kelompok dan ceramah?
b) Variasi metode, sehingga mahasiswa yang belajar menjadi lebih kreatif. Metode yang dipilih juga harus mampu meningkatkan kualitas belajar bermakna (meaningful learning).
c) Apakah metode pembelajaran yang dipilih dan digunakan dapat membentuk kompetensi? Apakah sebuah metode pembelajaran mengaktifkan siswa atau mahasiswa dalam belajar mandiri? Kalau kita membina dan melatih orang dewasa, sebaiknya juga kita memberi tekanan kepada potensi mereka sebagai sumber belajar yaitu pengalaman mereka (prinsip andragogis).
d) Apakah metode yang dipilih sesuai dengan metode yang dipilih dengan tingkat program? Maksudnya, kalau dosen mengelola pembelajaran pada jenjang pendidikan tinggi[16], selain memberi perhatian kepada pembentukan pengetahuan dan pemahaman serta karakter, seharusnya tekanannya juga kepada pembentukan ketrampilan studi (learning how to learn) dan riset (research skills). Apalagi di tingkat pascasarjana, metode pembelajaran harus lebih bertujuan memampukan mahasiswa mampu berpikir mandiri dan melakukan analisis, evaluasi dan sintesis. Tidaklah tepat bila ia hanya mampu menghafalkan bahan ceramah dosennya untuk diingat kembali pada waktu ujian.
e) Apakah metode yang kita pilih menimbulkan masalah finansial karena harus memberi alat-alat yang mahal? Dalam banyak pendidikan teologi di Indonesia, memberikan ceramah dengan menggunakan OHP pun sering tidak terjangkau karena keadaan finansial dan ekonomi. Apalagi jika dosen diharuskan mempergunakan LCD.
III – Pengembang kurikulum
Siapakah yang harus mengembangkan kurikulum?[18] Ada berbagai kemungkinan unsur yang terlibat dalam pengembangan kurikulum. Pertama, administrator pendidikan, seperti pengambil kebijakan dalam pendidikan teologi. Pimpinan perguruan tinggi teologi dan juga mereka dari anggota yayasan dan utusan gereja termasuk di dalamnya. Kedua, para ahli pendidikan, ahli teologi ahli pelayanan gereja dan para gembala jemaat, penginjil di lapangan bahkan para alumni pendidikan tinggi teologi itu sendiri. Ketiga, para guru dan dosen di lembaga pendidikan teologi. Mereka dapat memberikan masukan kepada perancang dan pengembang kurikulum tentang efektifitas dan relevansi dari mata kuliah yang diasuhnya selama ini, apakah harus ditambah, dikurangi atau dihapuskan saja atau diganti.
IV – Dimanakah tugas guru atau dosen?
Terkait dengan pendidikan teologi menurut hemat saya, peran bidang pengembangan kurikulum dan para dosen sangat penting dalam pengembangan kurikulum, khususnya terkait dengan pedoman pembelajaran (pedoman instruksional)[19]. Menurut Nasution (1989), pedoman instruksional biasanya dirumuskan berdasarkan silabus yang ada. Silabus lazimnya dimaksud berisikan mata pelajaran secara lebih rinci mencakup ruanglingkup (skopa) dan urutannya (sequensnya).

1 komentar:

  1. Seorang Mursyid, S,Pdi adalah "perampok akademik-plagiarism" karena tulisan dalam blog ini dirampok dari tulisan B.S. Sidjabat, Th.M., Ed.D. Silahkan dicek oleh dalam http://www.tiranus.net/pentingnya-inovasi-dan-pengembangan-kurikulum/. Ia harusnya dilaporkan ke Polisi karena telah melanggar HAKI, karena tanpa mencantumkan sumber tulisan. Kasihan bagi seorang penyandang gelar S,Pdi, apalgai ada "i" di belakang gelarnya.

    Wassalam,
    Elia Tambunan, MP.d.

    BalasHapus