Senin, 28 Juni 2010

ISLAM DI INDONESIA

A. pusat penyebaran islam di Indonesia
Pada tahun 30 H atau 651 M, hanya berselang waktu 20 tahun dari wafatnya rasulullah SAW, Khalifah Utsman ibnu Affan RA mengirim delegasi ke Cina untuk memperkenalkan Daulah Islam yang belum lama berdiri. Dalam perjalanan waktu yang memakan waktu empat tahun ini, para utusan Utsman ternyata sempat singgah di Kepulauan Nusantara. Beberapa tahun kemudian, tepatnya tahun 674 M, Dinasti Umayyah telah mendirikan pangkalan dagang di pantai Barat Sumatera. Inilah perkenalan pertama penduduk Indonesia dengan Islam. Sejak itu para pelaut dan pedagang muslim yang berdatangan, abad demi abad. Mereka membeli hasil bumi dari negeri nan hijau ini sambil berdakwah.
Lambat laun penduduk pribumi mulai memeluk islam meskipun belum secara besar-besaran. Aceh, daerah paling barat dari kepulauan Nusantara, adalah yang pertama sekali menerima agama islam. Bahkan di Acehlah kerajaan islam pertama di Indonesia berdiri, yakni Pasai. Berita dari Marcopolo menyebutkan bahwa pada saat persinggahannya di Pasai tahun 692 H/ 1292 M, telah banyak orang Arab yang menyebarkan Islam. Begitu pula berita dari Ibnu Batthutah, pengembara muslim dari maghribi, yang ketika singgah di Aceh tahun 746 H / 1345 M menuliskan bahwa di Aceh telah tersebar mazhab Syafi’i. Adapun peninggalan tertua dari kaum muslimin yang ditemukan di Indonesia terdapat di Gresik, jawa timur. Berupa kompleks dalam islam. Yang salah satu diantaranya adalah makam seorang Muslimah bernama Fathimah binti Maimun. Pada makamnya tertulis angka 475 H / 1082 M, yaitu pada zaman kerajaan Singasari. Diperkirakan makam-makam ini bukan dari penduduk asli, melainkan makam para pedagang Arab.




Islamisasi Penduduk Pribumi
Sampai dengan abad ke-8 H / 14 M, belum ada pengislaman penduduk pribumi Nusantara secara besar-besaran.baru pada abad ke-9 H / 14 M, penduduk pribumi memeluk islam secara massal.para pakar sejarah berpendapat bahwa masuk islamnya penduduk Nusantara secara besar-besaran pada abad tersebut disebabkan saat itu kaum muslimin sudah memiliki kekuatan politik yang berarti. Yaitu ditandai dengan berdirinya beberapa kerajaan bercorak islam sepeti kerajaan Islam Aceh Darussalam, Malaka, Demak, Cirebon, serta Ternate. Para penguasa kerajaan-kerajaan ini berdarah campuran, keturunan raja-raja pribumi pra islam dan para pendatang arab.pesatnya islamisasi pada abad ke-14 dan ke-15 M, antara lain juga disebabkan oleh surutnya kekuatan dan pengaruh kerajaan-kerajaan Hindu/Buddha di Nusantara seperti di Majapahit, Sriwijaya, dan Sunda. Thomas Arnold dalam The Preaching of Form mengatakan bahwa kedatangan islam bukanlah sebagai penakluk seperti halnya bangsa Portugis dan Spanyol. Islam datang ke Asia Tenggara dengan jalan damai, tidak dengan jalan pedang, tidak dengan merebut kekuasaan politik. Islam masuk ke Nusantara dengan cara yang benar-benar menunjukkannya dengan rahmatan lil ’alamin.
Semenjak awal datangnya bangsa Eropa pada akhir abad ke-15 M ke kepulauan subur makmur ini, memang sudah terlihat sifat rakus mereka untuk menguasai. Apalagi mereka mendapati kenyataan bahwa penduduk kepulauan ini telah memeluk islam, agama yang paling ditantang mereka, sehingga semangat perang salib pun selalu dibawa bawa setiap kali mereka menundukan suatu daerah. Dalam memerangi islam mereka bekerja sama dengan kerajaan-kerajaan pribumi yang masih menganut Hindu / Buddha. Satu contoh, untuk memutuskan jalur pelayaran kaum Muslimin, meraka setelah menguasai Malaka pada tahun 1511 M, Portugis menjalin kerjasama kerajaan Sunda Pajajaran untuk membangun sebuah pangkalan di Sunda Kelapa. Namun maksud Portugis ini gagal total setelah pasukan gabungan islam dari sepanjang pesisir utara pulau jawa bahu membahu menggempur mereka pada tahun 1527 M, pertempuran besar yang bersejarah ini dipimpin oleh seorang putra Aceh berdarah Arab Gujarat, yaitu Fadhilah Al-Pasai,yang lebih terkenal dengan gelarnya, Fathahillah. Sebelum menjadi orang penting di tiga kerajaan islam jawa, yakni demak, Cirebon, dan Banten. Fathahillah sempat berguru di Mekkah. Bahkan ikut mempertahankan Mekkah dari serbuan Turki Utsmani.
Kedatang kaum kolonialis di satu sisi telah membangkitkan semangat jihad kaum muslimin Nusantara, namun di sisi lain membuat pendalaman akidah islam tidak merata. Hanya kalangan pesantren ( madrasah ) saja yang mendalami keislaman, itupun biasanya terbatas pada mazhab Syafi’i. Sedangkan pada kaum muslimin kebanyakan, terjadi percampuran akidah dengan tradisi pra islam. Kalangan priyayi yang dekat dengan Belanda sudah terjangkiti gaya hidup Eropa. Kondisi seperti ini setidaknya masih terjadi hingga sekarang. Terlepas dari hal ini, ulama-ulama Nusantara adalah orang-orang yang gigih menentang penjajahan. Meskipun banyak diantara mereka yang berasal dari kalangan tarekat, namun justru kalangan tarekat inilah yang sering bangkit melawan penjajah. Dan meski pada akhirnya setiap perlawanan ini berhasil ditumpas dengan taktik licik, namun sejarah telah mencatat jutaan Syuhada Nusantara yang gugur pada berbagai pertempuran melawan Belanda. Sejak perlawanan kerajaan-kerajaan islam di abad 16 sampai 17 seperti Malaka (Malaysia ), Sulu ( Filifina ), Pasai, Banten, Sunda Kelapa, Makassar, Ternate, hingga perlawanan para ulama di abad 18 seperti perang Cirebon (Bagus rangin), perang jawa (Diponegoro), perang padri (Imam Bonjol),dan perang Aceh (Teuku Umar).

( MURSYID. S.pdi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar